“SIFAT DUAL USE AGENSIA BIOLOGI SEBAGAI POTENSI ANCAMAN AKTUAL NON MILITER TERHADAP PERTAHANAN NEGARA”

Kamis, 25 Mei 2023

Oleh : Gede Priana Dwipratama, S.E., M.M.

Analis Pertahanan Negara Ahli Muda Set Ditjen Pothan Kemhan

UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1) berisi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam memenuhi hak hidup warga negara seperti yang dicantumkan dalam pasal tersebut, pemerintah tentu perlu menciptakan dan memelihara lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kondisi lingkungan hidup tersebut salah satunya terbebas dari berbagai ancaman penyakit menular baik yang disebabkan oleh virus, rickettsia, bakteri, fungi atau jamur dan protozoa. Mikroorganisme yang dapat mengakibatkan dampak penyakit menular atau agensia biologi merupakan salah satu bentuk ancaman aktual non militer yang perlu menjadi kewaspadaan bukan hanya bagi Warga Negara Indonesia, tapi seluruh warga negara di dunia.

1Beberapa catatan kelam sejarah penggunaan agensia biologi sebagai senjata dalam perang antara lain:

  1. Tahun 400 SM. Orang Iran kuno (scythians) dan Bangsa Roma menggunakan pedang dan panah yang telah dicelupkan dalam kotoran (feses), pupuk dan mayat makhluk hidup yang telah membusuk sebelum digunakan dalam pertempuran. Luka yang disebabkan pedang dan panah tersebut, mengakibatkan infeksi penyakit hingga berujung pada kematian pihak musuh.

  1. Tahun 1346 – 1353 (The Black Death). Bangsa Mongol mengusir Bangsa Genoa dari Kota Kaffa di Laut Mati dengan memanfaatkan mayat-mayat manusia yang terinfeksi bakteri yersinia pestis. Saat Bangsa Genoa mengungsi hingga ke Venesia, mereka tetap bersama-sama dengan kutu dan tikus yang telah terinfeksi wabah pes. Hal ini kemudian menimbulkan pandemi yang paling mematikan di Wilayah Eropa, Asia dan Afrika Utara. Sejarah mencatat, populasi penduduk Eropa berkurang hingga 60% akibat wabah ini.

  1. Tahun 1754 – 1760. Perang antara Britania Utara dengan Bangsa Indian menggunakan agensia biologi berupa virus cacar. Britania Utara menggunakan pakaian dan selimut bekas penyakit cacar untuk merawat Bangsa Indian di rumah sakit, akibatnya pasien Bangsa Indian yang sedang menjalani rawat inap ikut terpapar virus cacar.

  1. Tahun 1914 – 1918. Saat perang dunia pertama, Jerman menggunakan dua patogen bakteri, yaitu Burkholderia Mallei penyebab penyakit Glanders dan Bacillus Anthracis penyebab penyakit Antrax untuk menginfeksi ternak dan kuda tentara sekutu.

5. Tahun ….

2

  1. Tahun 1932 – 1935. Jepang melakukan pengembangan program pembuatan senjata biologi di Cina dengan nama Unit 731. Program tersebut melibatkan sebanyak 3.000 ilmuwan Jepang dengan penelitian terhadap agensia biologi yang berpotensi sebagai senjata, seperti kolera, pes dan penyakit menular seksual. Eksperimen tersebut menggunakan tahanan Cina sebagai percobaan dan mengakibatkan sekitar 10.000 orang tahanan meninggal dunia.

2Beberapa agensia biologi yang pernah direncanakan menjadi senjata atau sudah pernah digunakan sebagai senjata biologi antara lain:

  1. Bacillus anthracis (Antrax)

  2. Brucella sp (Brucellosis)

  3. Chlamydia psittaci (Psittacosis)

  4. Coxiella burnetii (Demam Q)

  5. Escherichia coli 0157.H7 (Gastroenteritis)

  6. Shigella (Shigellosis)

  7. Francisella tularensis (Tularemia)

  8. Burkholderia mallei (Glanders)

  9. Burkholderia psedomallei (Melioidosis)

  10. Salmonella typhi (Tifus)

  11. Variola (Cacar)

  12. Vibrio cholerae (Kolera)

  13. Virus Ebola

  14. Virus Marburg

  15. Virus demam lembah Rift atau Rift Valley Fever Virus

  16. Virus Alfa (Ensefalitis)

  17. Virus demam kuning atau Yellow Fever Virus

  18. Dan lain sebagainya.

Senjata biologi memiliki karakteristik mudah dihasilkan dan disebarkan, serta dapat melumpuhkan atau membunuh individu dengan hasil yang sama. Hasil penggunaan senjata biologi memiliki konsistensi berupa bentuk atau akibat yang sama meski tersebar pada wilayah atau kawasan yang berbeda. 3Agensia biologi juga dapat dihasilkan dengan cepat dan murah. 4Agensia biologi yang digunakan sebagai senjata biologi memiliki masa inkubasi yang cukup panjang dalam tubuh penderitanya, sehingga dapat ditularkan dan menyebar secara luas sebelum terdeteksi.

5Johns Hopkins Center for Health Security merupakan lembaga mandiri yang berada di bawah naungan John Hopkins Bloomberg School of Public Health dan beralamatkan di 621 East Pratt Street Suite 201 Baltimore Amerika Serikat. Lembaga ini membuat skenario ancaman aktual pandemi global pada tahun 2025 sampai dengan 2028. Secara garis besar skenario tersebut memiliki timeline sebagai berikut:

  1. Skenario Tahun 2025. Kasus kematian pertama akibat virus yang bernama SPARS di Amerika Serikat terjadi pada bulan Oktober. Sebulan kemudian, virus SPARS menyebar hingga ke 26 negara bagian dan berbagai negara di dunia. WHO menyatakan perlunya perhatian serius internasional terhadap pandemi ini. Belum ada penanganan atau vaksin yang tepat untuk SPARS hingga bulan Desember dan penggunaan kalocivir menjadi alternatif pengobatan.

2. Skenario ….

3

  1. Skenario Tahun 2026. Pada bulan Januari, Pemerintah Amerika Serikat berkontrak dengan CynBio dalam mengembangkan dan memproduksi vaksin SPARS bagi manusia dengan bahan dasar vaksin hewan. Kalocivir yang selama ini digunakan untuk menangani pasien SARS dan MERS, kemudian juga menjadi pengobatan alternatif dalam menangani pasien SPARS. Pada bulan April, CynBio berhasil memproduksi vaksin SPARS yang bernama corovax. Distribusi vaksin corovax dilaksanakan secara global meski di bulan Agustus mengalami penolakan dari berbagai lapisan masyarakat global salah satunya aktivis anti vaksin. Pada bulan September, Jepang menyatakan tidak menggunakan corovax dan akan mengembangkan serta memproduksi vaksinnya sendiri. Pada bulan November, banyak terdapat laporan penyintas SPARS mengalami pneumonia.

  1. Skenario Tahun 2027. Meningkatnya kasus pneumonia yang dialami oleh para penyintas SPARS kemudian membuat pemerintah menambah produksi antibiotik dan di distribusikan ke berbagai negara bagian. Pada bulan Mei, terjadi berbagai laporan efek samping gangguan neurologi dari vaksin corovax khususnya pada anak-anak.

  1. Skenario Tahun 2028. Pada bulan Agustus, pandemi SPARS secara resmi dinyatakan berakhir, namun para ahli tetap menaruh perhatian pada potensi ancaman wabah berikutnya di masa depan.

6Nearly universal access to wireless internet and new technology including Internet Accessing Technology (IAT): thin, flexible screens that can be temporary attached to briefcases, backpacks or clothing and used to stream content from the internet has provided the means for readily sharing news and informations. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi pada tahun 2025 yang digambarkan oleh Johns Hopkins Center for Health Security semakin menghubungkan dunia secara simultan dan disaat yang sama juga memisahkan manusia dalam berinteraksi secara langsung sebagai makhluk sosial. Pada periode tahun tersebut, streaming content yang menambah kecepatan penyebaran berita dan informasi serta peningkatan kuantitas transaksional online juga semakin meningkat.

Skenario ancaman aktual pandemi global yang disusun oleh Johns Hopkins Center for Health Security secara umum menggambarkan pentingnya penyiapan dalam menghadapi wabah atau pandemi yang dimulai pada tahun 2025. Dari response scenario timeline dapat dilihat bahwa vaksin SPARS telah siap untuk di produksi dan di distribusikan hanya dalam waktu 6 bulan sejak kasus kematian pertama. Selain itu, penyintas SPARS masih beresiko mengalami pneumonia dan gangguan neurologi. Skenario wabah atau pandemi sejak kasus pertama hingga secara resmi dinyatakan berakhir hanya dalam rentang waktu 3 tahun. 7Advancements in biotechnology and genetic engineering have made it easier for nations and unfortunately terrorist groups (even lone-wolf operators) to have relatively easy access to bio-weapons and create bio-warfare capabilities. Kecanggihan bioteknologi dan rekayasa genetika dapat memberikan dampak positif terhadap kemajuan teknologi suatu negara. Kecanggihan tersebut juga dapat memberikan dampak negatif jika diakses oleh teroris bahkan seorang lone-wolf operators dalam membuat senjata biologis. Tidak seperti senjata nuklir, penggunaan senjata biologi tidak merusak fasilitas dan infrastruktur, sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

Penggunaan ….

4

8Penggunaan senjata biologi telah dilarang sejak tahun 1925 melalui perjanjian internasional Protokol Geneva, namun beberapa negara masih melanggar perjanjian tersebut. Hal ini kemudian membuat PBB menyelenggarakan Biological and Toxin Weapon Convention (BTWC) pada tahun 1972 dengan tujuan menegaskan pelarangan pembuatan, pengembangan dan penyimpanan senjata biologi. Meskipun PBB telah melarang dengan tegas dan seluruh negara anggota BTWC menaatinya, bukan tidak mungkin masih terdapat Covert Biological Weapons Program yang dikembangkan baik oleh state maupun non-state actor (teroris atau lone-wolf operators). Terorisme agensia biologi dapat diawali dengan penyalahgunaan bioteknologi, seperti rekayasa genetika melalui pengembangan organisme makroskopis. Agensia biologi secara genetik dimodifikasi agar memiliki kemampuan untuk menghasilkan toksin atau racun yang berbahaya. Rekayasa genetika pada agensia biologi juga dapat dikembangkan agar mampu bertahan dan stabil dalam suatu kondisi cuaca atau iklim tertentu. Selain itu juga agar dapat memiliki kemampuan resistensi terhadap antibiotik, vaksin dan terapi pengobatan lainnya.

Modifikasi agensia biologi juga dapat dilakukan dengan mengubah profil imunologisnya agar tidak dapat dikenali oleh sistem imun tubuh manusia. Apabila hasilnya kemudian disebarkan secara sengaja oleh teroris, tentu dapat mengakibatkan wabah penyakit menular yang sangat membahayakan, bukan hanya untuk segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, namun juga seluruh warga dunia. Hal ini sesuai dengan Permenhan Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Dampak Bahaya Agensia Biologi dari Aspek Kesehatan di Lingkungan Kemhan dan TNI Pasal 1 Ayat (2) yang berisi “Bahaya biologi adalah dampak yang timbul akibat penyalahgunaan ilmu pengetahuan biologi serta musibah atau wabah yang timbul oleh senjata biologi serta penyebarannya”. Wabah penyakit atau pandemi merupakan salah satu ancaman aktual non militer yang perlu di waspadai oleh masyarakat dunia termasuk Indonesia. Hal ini sesuai dengan Lampiran Perpres Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020-2024 bagian 2 huruf (a) yang berisi “ancaman tersebut antara lain pelanggaran wilayah perbatasan/intervensi asing, separatisme dan pemberontakan bersenjata, perompakan, pembajakan dan penyanderaan warga negara Indonesia, terorisme dan radikalisme, ancaman siber, ancaman intelijen atau spionase, ancaman perang psikologikal, serangan senjata biologis, bencana alam dan lingkungan, pencurian kekayaan alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serta dampak lahirnya revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0”.

Permenhan Nomor 15 Tahun 2022 tentang Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2023 Sasaran Kebijakan huruf c nomor (1) berisi “Meningkatkan kesiapan dan profesionalitas Tentara Nasional Indonesia untuk penanganan terorisme, radikalisme, separatisme, bahaya laten komunis, bencana alam, bantuan kemanusiaan, tugas misi perdamaian dunia dan keadaan darurat lainnya, termasuk ancaman Chemical, Biological, Radiological, Nuclear and Explosive (CBRN-E) serta siber”. 9Rektor Unhan RI dalam kegiatan Kuliah Pakar Fakultas Farmasi Militer (FFM) Unhan RI seri-9 tanggal 31 Maret 2022 menyampaikan bahwa CBRN-E merupakan jenis ancaman yang memiliki kemampuan untuk menciptakan gangguan massal dan penting bagi masyarakat untuk menyadari jenis ancaman ini. Potensi ancaman aktual non militer CBRN-E tersebut salah satunya merupakan penyalahgunaan agensia biologi berupa penyebaran makhluk hidup, mikroorganisme dan toksin yang dihasilkan. Penggunaan agensia biologi memiliki sifat dual-use yang membuatnya sulit dibedakan apakah sebagai wabah alami (natural outbreak diseases) atau wabah yang disengaja dan mungkin dilakukan dengan tujuan melumpuhkan Indonesia.

Beberapa ….

5

Beberapa catatan sejarah terorisme agensia biologi di dunia perlu menjadi perhatian bagi Indonesia. Hal ini sebagai upaya untuk membangun kewaspadaan dan daya tangkal terhadap potensi ancaman aktual non militer tersebut. Beberapa tindakan yang perlu dilakukan antara lain pengamanan secara institusi atau personal agar dapat mencegah kehilangan, pencurian, penyalahgunaan, penyelewengan dan pelepasan secara sengaja agensia biologi yang berupa suatu patogen atau toksin. Penye­baran agensia biologi tersebut dapat menimbulkan wabah penyakit menular atau kematian pada manusia, hewan, tumbuhan dan merusak lingkungan serta dapat mengancam pertahanan negara. Hal ini sesuai Permenhan Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Dampak Bahaya Agensia Biologi dari Aspek Kesehatan di Lingkungan Kemhan dan TNI Pasal 2 yang berisi “Salah satu ancaman non militer merupakan ancaman potensial yang bersifat biologi dengan penggunaan agensia biologi yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit menular”.

Indonesia perlu memiliki daya tangkal dalam menghadapi potensi ancaman terorisme agensia biologi. Daya tangkal tersebut dibentuk, dipelihara dan ditingkatkan demi keberlangsungan hidup seluruh Warga Negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 3 Tahun 2002 Pasal 6 yang berisi “Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman”. Dalam menyelenggarakan pembangunan dan pembinaan kemampuan tersebut, Indonesia di dukung oleh sistem pertahanan negara yang bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya. Sistem pertahanan semesta atau Sishankamrata dilakukan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman, salah satunya berupa potensi ancaman terorisme agensia biologi.

Skenario Pandemi SPARS oleh Johns Hopkins Center for Health Security meramalkan peningkatan tajam penggunaan IAT dan IoT pada tahun 2025. Situasi tersebut tentu akan sejalan dengan peningkatan kuantitas transaksional belanja online kebutuhan hidup masyarakat. Sebagai contoh pilihan transaksional online yang saat ini sedang tren yaitu berburu pakaian bekas (thrifting). 10Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia telah mengimpor sebanyak 870,4 ton pakaian bekas dengan 11HS Code 63090000 – Worn clothing and other worn articles (pakaian bekas dan barang bekas lainnya) dengan nilai US$ 11,09 juta dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pakaian bekas tersebut berasal dari 92 negara. 12Kepala BPS mengatakan data yang tercatat di BPS berdasarkan laporan dari Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu yang bertugas di tiap-tiap pintu masuk Indonesia dan merupakan barang milik individu atau personal milik WNI yang akan pulang atau WNA yang akan tinggal di Indonesia, bukan oleh entitas usaha. Presiden Joko Widodo melarang bisnis pakaian bekas impor karena dianggap mengganggu industri tekstil dalam negeri. Plt. Dirjen PKTK Kemendag juga menyampaikan bahwa tidak ada pelarangan terkait jual beli pakaian bekas, namun yang dilarang merupakan tindakan impor pakaian bekas. Hal ini sesuai dengan Permendag Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Melalui benchmark dari skenario ancaman aktual pandemi global yang disusun oleh Johns Hopkins Center for Health Security dan berbagai catatan sejarah penggunaan senjata biologis oleh teroris, bukan tidak mungkin terdapat skenario terorisme agensia biologi yang menggunakan media pakaian bekas impor.

Pada ….

6

13Pada tahun 2017 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Departemen Kesehatan Amerika Serikat merilis pernyataan media tentang Resistensi Antimikroba pada jamur bernama Candida auris (C. auris). Kasus pertama terjadi di rumah sakit di Inggris pada Juni 2016 dengan sampel C. auris yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi terhadap berbagai pengobatan. Infeksi dan penyebaran C. auris paling sering terjadi kepada pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit. Pasien yang terkena C. auris mengalami infeksi aliran darah, infeksi luka dan infeksi telinga. Pada November 2016, CDC juga menerima laporan 13 kasus infeksi C. auris. Seluruh pasien mengalami kondisi medis yang serius dan saat C. auris teridentifikasi, pasien telah menjalani perawatan di rumah sakit selama 18 hari. Empat dari tujuh pasien dilapokan meninggal dunia, meskipun penyebab kematian belum dapat dipastikan apakah berkaitan dengan C. auris atau karena kondisi kesehatan lainnya. CDC telah menganalisis ratusan sampel internasional dengan hasil bahwa C. auris hampir identik di setiap rumah sakit, hal ini menunjukkan bahwa C. auris menyebar di lingkungan pelayanan kesehatan.

14CNN health tanggal 20 Maret 2023 menyatakan “The CDC has called Candida auris an urgent threat because it is often multidrug-resistant, easily spreads through health care facilities and cause deadly disease. It is also resistant to some common disinfectants and can be carried on people’s skin without causing symptons, facilitating its spread to others”.

Sumber: WHO fungal priority pathogens list to guide (2022)

Tabel 1. WHO Fungal Priority Pathogens List

15WHO merilis final ranking of fungal pathogens menjadi 3 (tiga) grup yang terdiri dari total 19 (sembilan belas) jenis patogen jamur dan digambarkan dalam Tabel 1 di atas. C. auris masuk dalam salah satu critical group atau paling membahayakan dan memiliki kekebalan terhadap berbagai obat serta dapat mengakibatkan infeksi invasif dan kematian. Pada tahun 2020-2021 terjadi penyebaran C. auris di berbagai rumah sakit Amerika Serikat.

Periode ….

7

Periode tahun tersebut masih terjadi pandemi Covid-19 dan rumah sakit fokus dalam penanganan pasien Covid-19. C. auris menyebar antar pasien di rumah sakit dengan perantara peralatan dan perlengkapan rawat inap pasien. Berakhirnya pandemi Covid-19 tidak turut mengakhiri penyebaran C. auris terutama di rumah sakit dan berbagai layanan kesehatan lainnya. C. auris dapat bertahan lama pada permukaan kulit manusia dan berbagai peralatan serta perlengkapan kesehatan di rumah sakit, seperti pakaian, seprai, pegangan tempat tidur, kursi dan lain sebagainya. Potensi penyebaran C. auris dapat berkembang tidak hanya di lingkungan rumah sakit atau layanan kesehatan semata. Kemampuan C. auris bertahan lama pada pakaian bekas dapat menjadi salah satu potensi ancaman aktual non militer agensia biologi. Ancaman yang bersifat dual use dan sulit terdeteksi sebagai wabah alami (natural outbreak diseases) atau wabah yang disengaja oleh teroris.

Berbagai catatan sejarah penggunaan senjata biologi, hasil penelitian WHO terhadap fungal pathogens, peningkatan transaksional online dalam skenario Johns Hopkins Center for Health Security, rilis kasus penyebaran C. auris oleh CDC Amerika Serikat dan tren baru pakaian bekas (thrifting) baik di Indonesia dan di dunia sejak pandemi Covid-19 menjadi celah dalam penyebaran agensia biologi, khususnya melalui media pakaian bekas yang bersentuhan langsung dengan kulit pemakainya. Pakaian bekas memenuhi salah satu faktor dalam penyebaran agensia biologi tersebut. Faktor perubahan iklim dan rekayasa genetika yang disalahgunakan juga dapat meningkatkan resistensi agensia biologi, dimana pakaian bekas yang dicuci atau dibersihkan menggunakan disinfektan tetap tidak menjamin terbebas dari penyebaran agensia biologi yang bersifat dual use ini. Secara tidak langsung, pelarangan pakaian bekas impor oleh pemerintah bukan hanya karena mengganggu industri tekstil dalam negeri semata, namun juga sebagai salah satu daya tangkal untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari potensi ancaman aktual non militer yang berasal dari luar negeri, khususnya yang diakibatkan oleh penyebaran agensia biologi.

Catatan Kaki

1Eric Croddy (2001). “Chemical and Biological Warfare: A Comprehensive Survey for the Concerned Citizen Springer. ISBN 978-0-95076-1. Page 219-224.

2Madigan MT, Martinko JM (2000). “Brock Biology of Microorganisms. Prentice Hall”. ISBN 978-0-13-081922-2. Page 842-845.

3Educational Foundation for Nuclear Science, Inc (1964). “Statement on biological and chemical warfare”. Bulletin of the Atomic Scientists. Page 46.

4Charles Edward Stewart (2005). “Weapons of mass casualities and terrorism response handbook”. Jones and Bartlett Publishers, Inc. ISBN 978-0-7637-2425-2. Page 84.

5Johns Hopkins Center for Health Security. “The SPARS Pandemic 2025-2028 A Futuristic Scenario for Public Health Risk Communicators”. October 2017.

6P.R. Kumar. “Biological Warfare: An Emerging Threat of the Future”. Page 31. CLAWS Journal Volume 14 No. 1. Summer 2021.

7P.R. Kumar. “Biological Warfare: An Emerging Threat of the Future”. Page 38. CLAWS Journal Volume 14 No. 1. Summer 2021.

8Alibek, K and S. Handleman. Biohazard: The Chilling True Story of the Largest Covert Biological Weapons Program in the World-Told from inside by the Man Who Ran it. Delta (2000). ISBN 0-385-33496-6.

9https://www.idu.ac.id/berita/ffm-unhan-ri-laksanakan-kuliah-pakar-seri-9-bertajuk-future-forces-to countermeasures-cbrne-issues-a-pharmacy-and-health-security-perspectives.html.

10https://ekonomi.republika.co.id/berita/rrx1vf349/pakaian-bekas-impor-tercatat-resmi-di-bps-mengapa.

11https://insw.go.id/intr/detail-komoditas.

12https://pasca.unair.ac.id/jokowi-larang-penjualan-baju-bekas-pedagang-dan-pembeli-meradang/.

13https://www.cdc.gov/drugresistance/solutions-initiative/stories/cdc-response-to-global-threat.html.

14https://edition.cnn.com/2023/03/20/health/fungus-candida-auris-increase/index.html.

15WHO fungal priority pathogens list to guide research, development and public health action (2022). ISBN 978-92-4-006024.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia