Peranan Militer dalam Pemberantasan Aksi Teror

Jumat, 25 Juli 2025

 

Peranan Militer dalam Pemberantasan Aksi Teror

Oleh: Charla Susanti, S.E

Analis Pertahanan Ahli Muda Setditjen Pothan Kemhan

Shantierna69@Gmail.com

 

I. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Terorisme merupakan fenomena global yang tidak hanya mengancam keamanan suatu negara, tetapi juga mengoyak nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian sosial, dan stabilitas nasional. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, tidak luput dari ancaman aksi terorisme. Sejumlah aksi teror yang telah terjadi, seperti Bom Bali (2002), Bom JW Marriott (2003), dan peristiwa teror di Poso, menegaskan bahwa terorisme memiliki dimensi kompleks baik dari aspek sosial, politik, maupun ideologis.

Dalam upaya penanggulangannya, peran aparat penegak hukum seperti POLRI dan BNPT menjadi tulang punggung. Namun, dalam kondisi tertentu, skala ancaman yang tinggi serta keterlibatan kelompok bersenjata membuat keterlibatan militer (TNI) menjadi relevan dan strategis. Hal ini diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menegaskan bahwa pemberantasan teror merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP).

b. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana sejarah dan pola aksi teror di Indonesia dari masa ke masa?

  2. Apa saja motif utama yang melatarbelakangi aksi terorisme di Indonesia?

  3. Bagaimana peran dan fungsi TNI dalam pemberantasan aksi teror menurut regulasi yang berlaku?

  4. Apa tantangan dan hambatan dalam pelibatan militer bersama aparat penegak hukum lainnya?

  5. Apa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan peran militer dalam penanggulangan terorisme?

c. Tujuan Penulisan

  1. Untuk mengkaji perkembangan dan karakteristik aksi teror di Indonesia.

  2. Untuk menganalisis berbagai motif di balik aksi teror yang terjadi.

  3. Untuk…

2

  1. Untuk mendeskripsikan secara sistematis peran militer dalam menghadapi terorisme.

  2. Untuk mengevaluasi tantangan operasional dalam sinergi antar lembaga keamanan.

  3. Untuk merumuskan rekomendasi strategis yang memperkuat koordinasi dan efektivitas militer dalam pemberantasan aksi teror.

II. Tinjauan Pustaka

Menurut UU Nomor 5 Tahun 2018, terorisme adalah tindakan kekerasan yang menimbulkan rasa takut secara luas, menyebabkan korban massal, serta mengakibatkan kerusakan serius terhadap lingkungan dan fasilitas publik. Sejumlah literatur menyebutkan bahwa motif aksi teror dapat berasal dari faktor sosial-politik, keagamaan, ideologis, dan kultural (Reksoprodjo et al., 2018).

Pelibatan militer dalam OMSP telah diatur dalam UU TNI, yang menyebutkan bahwa TNI dapat dilibatkan dalam mengatasi ancaman non-konvensional, termasuk terorisme. Jurnal Ilmu Administrasi Negara (2021) menekankan pentingnya sinergi antara POLRI dan TNI dalam menghadapi terorisme, meskipun terdapat tantangan berupa ego sektoral dan keterbatasan pelatihan bersama.

III. Analisis dan Pembahasan

a. Sejarah dan Pola Aksi Terorisme di Indonesia

Aksi terorisme di Indonesia bukan fenomena baru. Sejarah mencatat, sejak 1950-an telah terjadi serangkaian aksi kekerasan politik yang mengarah pada bentuk teror. Peristiwa pelemparan granat di Cikini (1957) menandai awal ancaman terhadap kepala negara. Di era Orde Baru, meskipun pengendalian politik cukup ketat, muncul insiden seperti pembajakan pesawat Garuda (1981) dan peristiwa Tanjung Priok (1984) yang menunjukkan pola baru: penggunaan kekerasan untuk menyampaikan pesan politik.

Masuk era Reformasi, karakter teror berubah secara signifikan. Serangan Bom Bali I (2002) menunjukkan kemunculan jaringan teror transnasional seperti Jemaah Islamiyah, dengan ideologi globalisasi jihad. Dari sinilah terjadi pergeseran ancaman, dari aksi bersifat lokal-politik menjadi global-agama dan sistematis.

Fase selanjutnya menunjukkan diversifikasi modus operandi: bom bunuh diri, lone wolf, hingga serangan bersenjata (Papua, Poso). Hal ini menunjukkan bahwa

Terorisme …

3

terorisme di Indonesia tidak statis, melainkan adaptif dan bertransformasi mengikuti konteks sosial-politik dan global.

1) Pola terorisme di Indonesia menunjukkan siklus: dari terorisme politik → ideologis → agama → hibrid (campuran).

2) Tahun 2010 ke atas menunjukkan kecenderungan aksi teror individual (lone wolf) dan kelompok kecil berbasis lokal, bukan jaringan besar.

3) Kecenderungan pelaku muda dan penggunaan media sosial sebagai alat perekrutan mulai dominan.

b. Motif dan Dinamika Aksi Terorisme

Motif aksi teror di Indonesia sangat kompleks. Berdasarkan kajian Reksoprodjo et al. (2018), terdapat lima motif utama yang saling terkait:

  1. Sosial-Politik: Ketidakpuasan terhadap pemerintah yang dianggap otoriter, korup, atau tidak adil bisa memicu radikalisasi.

  2. Keagamaan: Distorsi terhadap doktrin keagamaan melahirkan keyakinan ekstrem seperti “jihad ofensif”, takfiri, dan keinginan mendirikan negara khilafah.

  3. Ideologi: Kelompok radikal meyakini adanya sistem ideal di luar sistem negara (anti-Pancasila), sehingga melakukan kekerasan sebagai bentuk revolusi ideologis.

  4. Kultural: Budaya kekerasan diwariskan dalam komunitas tertentu, seperti di daerah konflik berkepanjangan (misal Poso, Papua).

  5. Respon terhadap Kebijakan Pemerintah: Ketika pendekatan negara dirasa represif, tidak adil, atau diskriminatif, maka sebagian kelompok memanifestasikan protes dalam bentuk teror.

Motif ini tidak bekerja secara tunggal, namun sering berkelindan dan saling menguatkan. Pemahaman atas motif menjadi sangat penting agar respons negara tidak keliru dan kontraproduktif.

  1. Motif ekonomi juga bisa mendorong terorisme, terutama ketika perekrutan dilakukan dengan iming-iming finansial.

  2. Motif balas dendam atas kematian tokoh kelompok mereka (seperti Santoso atau Abu Bakar Ba’asyir) dapat mendorong radikalisasi ulang generasi baru.

  3. Peran diaspora dan WNI eks ISIS (misalnya dari Suriah) perlu menjadi fokus dalam kajian motif baru.

4

c. Peran Strategis TNI dalam Penanggulangan Terorisme

  1. TNI juga dapat memperkuat pencegahan radikalisasi melalui program pembinaan teritorial dan komunikasi sosial (Komsos) di wilayah rawan.

  2. Peran TNI AL dan AU belum banyak dibahas, padahal potensi serangan via laut dan udara (seperti infiltrasi dari luar negeri) juga nyata.

  3. Penggunaan teknologi militer (dron, intelijen sinyal/SIGINT) perlu ditingkatkan untuk mendeteksi aktivitas teror secara dini.

d. Sinergi Lintas Sektor: TNI, POLRI, BIN, BNPT

    1. Diperlukan pusat kendali bersama (joint command center) saat operasi gabungan agar tidak terjadi overlap otoritas.

    2. Perlu SOP tetap terkait pembagian tugas dan pelaporan hasil operasi.

    3. Perluasan kerja sama dengan kementerian lain seperti Kemkominfo (untuk penanganan propaganda teror digital) dan Kemenag (untuk kontra narasi ideologis).

e. Peran Strategis TNI dalam Penanggulangan Terorisme

Pelibatan TNI dalam pemberantasan teror ditegaskan melalui UU No. 5 Tahun 2018 sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Fungsi TNI mencakup tiga peran utama:

1. Penangkal (Deterrent Force)

TNI menjalankan fungsi pertahanan preventif melalui penguatan postur, intelijen strategis, dan kesiapsiagaan tempur. Melalui kegiatan pengamanan wilayah, patroli bersenjata, dan penangkalan terhadap ancaman luar, TNI juga dapat memutus rantai logistik dan pelatihan kelompok teror.

2. Penindak (Combat Force)

Dalam situasi di mana ancaman bersenjata melampaui kapasitas POLRI, TNI berperan aktif sebagai kekuatan tempur. Contohnya adalah penumpasan KKB di Papua dan keterlibatan TNI dalam Operasi Tinombala di Poso.

3. Pemulih (Stabilization Force)

Setelah aksi teror dihentikan, TNI turut bertugas mengamankan wilayah, mendukung rekonstruksi, serta mengembalikan rasa aman masyarakat. Ini sejalan dengan pendekatan whole-of-government dan whole-of-nation.

d. Sinergi …

5

d. Sinergi Lintas Sektor: TNI, POLRI, BIN, dan BNPT

Efektivitas pemberantasan teror bergantung pada sinergi antar lembaga. Dalam praktiknya:

  1. BNPT berperan merumuskan kebijakan nasional penanggulangan teror.

  2. BIN mengembangkan intelijen strategis dan taktis.

  3. POLRI berfungsi sebagai penegak hukum utama dalam penyidikan dan penindakan.

  4. TNI terlibat dalam konteks OMSP sesuai dengan skenario ancaman dan regulasi teknis.

Beberapa contoh keberhasilan sinergi:

  1. Operasi pengejaran kelompok Santoso (2015-2016) di Poso yang melibatkan TNI dan POLRI.

  2. Penanganan jaringan JAD pasca aksi bom bunuh diri di Surabaya (2018) juga menunjukkan koordinasi lintas sektor yang efektif.

Namun, belum adanya Peraturan Presiden (Perpres) teknis yang mengatur pelibatan TNI secara rinci masih menjadi hambatan. Selain itu, integrasi sistem komando dan komunikasi juga perlu diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih otoritas.

e. Tantangan dan Risiko Pelibatan Militer

  1. Isu Yuridis dan HAM

Pelibatan TNI berpotensi menimbulkan kritik terkait pelanggaran HAM, terutama dalam operasi represif. Komnas HAM menekankan bahwa TNI sebaiknya hanya dilibatkan dalam skenario ancaman bersenjata ekstrem.

  1. Kultur dan Ego Sektoral

Perbedaan struktur komando, budaya institusional, dan prioritas kerja antara TNI dan POLRI sering kali memicu gesekan di lapangan.

  1. Ketiadaan SOP Terpadu.

Belum adanya dokumen operasional standar yang mengatur secara teknis kolaborasi lintas lembaga menyebabkan inefisiensi dan potensi konflik peran.

4. Ancaman …

6

  1. Ancaman Global dan Digitalisasi Teror

Kelompok teror kini memanfaatkan teknologi digital untuk propaganda, rekrutmen, dan pendanaan. Oleh sebab itu, peran TNI juga perlu adaptif dengan membentuk unit cyber defense yang bersinergi dengan instansi lain.

IV. Penutup

a. Kesimpulan

Peran militer dalam pemberantasan teror merupakan keniscayaan di tengah kompleksitas ancaman keamanan yang terus berkembang. TNI memiliki kapasitas dan kewenangan untuk bertindak dalam skenario tertentu, tetapi peran tersebut harus dilakukan secara akuntabel dan terkoordinasi. Pelibatan militer tanpa regulasi teknis yang rinci berpotensi menimbulkan friksi antarlembaga dan pelanggaran HAM.

b. Rekomendasi

  1. Pemerintah perlu segera menyusun Peraturan Presiden sebagai aturan teknis pelibatan TNI dalam penanggulangan teror.

  2. Meningkatkan pelatihan gabungan antara TNI dan POLRI secara berkala, membentuk satuan gabungan khusus anti-teror TNI–POLRI dengan interoperabilitas tinggi dan dilatih bersama secara berkelanjutan

  3. Memperkuat peran BNPT sebagai koordinator nasional untuk merumuskan strategi lintas sectoral, meningkatkan peran pendidikan bela negara untuk membangun daya tangkal masyarakat terhadap narasi teror.

  4. Mengembangkan pusat data intelijen terintegrasi antar Lembaga serta memperkuat peran Babinsa dan Babinkamtibmas di lapangan sebagai sensor sosial terhadap potensi radikalisme dini.

  5. Melibatkan masyarakat sebagai komponen cadangan dalam upaya pencegahan terorisme berbasis komunitas, mengadopsi teknologi prediktif (seperti AI untuk analisis pola digital propaganda dan transaksi mencurigakan).

Daftar Pustaka

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

  2. Reksoprodjo, A.H., Widodo, P., & Timur, F.G.C. (2018). Motif Aksi Terorisme. Universitas Pertahanan.

7

  1. Universitas Indonesia. (2020). Menelaah Tren Terorisme di Indonesia. https://www.ui.ac.id/menelaah-tren-terorisme-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/

  2. TNI. (2017). Teroris: Suatu Kejahatan terhadap Negara. https://tni.mil.id/view-115252-teroris-suatu-kejahatan-terhadap-negara.html

  3. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. (2021). Sinergitas TNI dan POLRI dalam Penanggulangan Terorisme.

  4. Core.ac.uk. (2020). Sejarah Terorisme di Indonesia. https://core.ac.uk/reader/288021770

=======================




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia