MEMBANGUN PILAR AKHLAK MULIA

Jumat, 21 Februari 2014

Oleh : H. Teguh Triono

Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan agar manusia memiliki akhlak mulia. Definisi akhlak menurut Imam Al-Gozali adalah ungkapan tentang sikap jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak memerlukan pertimbangan atau pikiran terlebih dahulu. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu khalaqa-yahluqu, artinya menciptakan. Dari akar kata ini pula ada kata makhluk (yang diciptakan) dan kata khalik (pencipta), maka akhlak berarti segala sikap dan tingkah laku manusia yang datang dari pencipta (Allah swt). Sedangkan moral berasal dari maros (bahasa latin) yang berarti adat kebiasaan, disinilah terlihat berbeda antara moral dengan akhlak. Moral berbentuk adat kebiasaan ciptaan manusia, sedangkan akhlak berbentuk aturan yang mutlak dan pasti yang datang dari Allah Swt. Kenyataannya setiap orang yang bermoral belum tentu berakhlak, akan tetapi orang yang berakhlak sudah pasti bermoral. Dan Rasulullah saw di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia, sebagaimana sabdanya dalam hadist dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya aku diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.”

 

Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita harus dihadapkan dengan tantangan dan gesekan-gesekan hidup yang bisa datang dari diri kita sendiri atau kadang juga dari orang lain; bahkan dengan orang-orang terdekat seperti kedua orang tua, sanak famili, teman-teman. Di sinilah sangat diperlukan peran akhlak mulia (akhlakul karimah). Akhlak Mulia, ini berlaku secara universal, umum bahkan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu : daerah/wilayah dan siang atau malam. Akhlak Mulia, terwujud dalam kondisi antara lain :

 

1. Berkata yang benar, seorang muslimin/muslimah senantiasa berkata yang benar sekalipun kepada orang yang ia tidak senangi.

2. Pergaulan yang benar walaupun dengan orang yang bukan seakidah dan selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Berilah kepada mereka makanan seperti yang kamu makan, berilah kepada mereka pakaian seperti yang kamu pakai dan janganlah kamu memaksa mereka melakukan kerja yang mereka tidak mampu melakukannya. Sekiranya terpaksa dilakukan maka hendaklah kamu turut membantunya.

 

3. Kemauan yang benar. Sebelum melakukan sesuatu pekerjaan, bersungguh-sungguh menilai apakah hal tersebut sesuai dengan Islam atau tidak, jika sesuai maka diteruskan dan jika ada keraguan apa lagi jika nyata bertentangan dengan Islam maka ditinggalkan.

 

4. Janji yang benar, jika berjanji, maka sungguh merupakan tekad untuk diteruskan, kecuali jika kemudian ada hal-hal syariat yang menunjukkan kesalahan janji tersebut. 5. Bersifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah, secara terus-menerus, tidak musiman.

 

Dalam AI-Quran surat An-Nisa Allah menjelaskan: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu, Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membamgga-banggakan diri. (QS. An-Nisa/4: 36). Ayat di atas menjelaskan tentang dua akhlak yang harus dimiliki manusia : Pertama, akhlak kepada Allah swt yaitu untuk beriman dan bertakwa kepada Allah swt dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya, serta memurnikan keimanan dengan tidak menyekutukan AHah swt dengan sesuatu apapun. Kedua, akhlak terhadap manusia, yaitu untuk selalu berbuat baik (ihsan) tanpa memiliki batasan dan merupakan nilai yang universal terhadap manusia, agama bahkan terhadap musuh sekalipun. Berakhlak baik terhadap sesama pada hakikatnya merupakan wujud dari rasa kasih sayang dan hasil dari keimanan yang benar.

 

Akhlak Paralel dengan Hati

Hati dan pikiran yang jernih akan melahirkan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Sebab, kejernihan hati dan pikiran, selalu dilandasi dengan semangat keikhlasan untuk mengabdikan dirinya semata-mata karena Allah. Itulah salah satu ciri orang yang beriman. Perbuatan yang demikian itu akan mampu menjadikan dirinya sebagai pembersih jiwa untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

 

Banyak cara dan langkah yang diajarkan Islam untuk menjernihkan hati dan pikiran tersebut. Pertama, memperbanyak istighfar (memohon ampun) kepada Allah SWT disertai keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang salah. “Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran/3 : 135).

 

Kedua, membiasakan zikir dengan lisan, hati, dan amal perbuatan. Dirinya meyakini bahwa segala sesuatunya telah ditentukan oleh Allah. “(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS Ar-Ra’du/13: 28-29).

 

Ketiga, memperbanyak zakat, infak, dan sedekah. Kesadaran untuk berzakat akan mampu mengembangkan dan memberikan keberkahan pada harta yang dimiliki (QS Ar-Ruum/30: 39), serta mampu menjernihkan hati dan pikiran. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At-Taubah/9: 103).

 

Dalam kaitan dengan kesediaan berzakat, berinfak, dan bersedekah ini juga akan meneguhkan etos dan etika kerja. Artinya, orang yang bekerja dengan hati dan pikiran yang jernih, niscaya mereka akan senantiasa senang bekerja dan tidak malas. Mereka akan menjadi manusia produktif, serta tidak melakukan perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. (QS Al-Mu’minun/23: 1-4). Selain itu, mereka akan senantiasa menjaga perbuatannya dari hal-hal yang negatif dan tercela. Sebab, hal itu dapat mencederai amal perbuatannya.

 

Akhirnya, jadikan akhlak menyatu dalam hati yang diaktualisasikan dalam diri melalui perilaku serta tutur kata keseharian. Mengelola amanah materi dengan menunaikan zakat dan sadakah misalnya, pada hakekatnya tidak hanya barmakna sedang membangun pilar akhlakul karimah terhadap diri sendiri, tetapi juga ekspresi berakhlak kepada dzat yang Maha Pemberi.

 

Insya Allah




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia