Dugaan penyebab jatuhnya Air Asia

Senin, 29 Desember 2014

KOMPAS.com – Analisis cuaca
yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)
menguatkan dugaan pesawat AirAsia QZ8501 gagal menghindari awan tebal
kumulonimbus yang berada pada rute penerbangannya.

Keberadaan
awan kumulonimbus dalam pesawat jenis Airbus A320-200 tersebut
sebelumnya dinyatakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
saat dihubungi Kompas.com, Minggu (28/12/2014).

Kepala Pusat
Meteorologi Penerbangan BMKG, Syamsul Huda, mengungkapkan bahwa sejak
lepas landas dari Surabaya, AirAsia QZ8501 terbang dalam kondisi cuaca
berawan. Saat sampai di wilayah antara Belitung dengan Kalimantan,
pesawat menghadapi cuaca yang lebih buruk.

Wilayah di antara Belitung dan Kalimantan adalah lokasi terakhir pesawat terdeteksi seperti yang dinyatakan oleh Flightradar24 dan pemerintah Indonesia dalam keterangan pers hari ini.

“Pesawat
menghadapi awan yang sangat tebal di lokasi (antara Belitung dan
Kalimantan). Berdasarkan data, ketinggian puncak awan kumulonimbus yang
dihadapi pesawat 48.000 kaki,” kata Syamsul.

Baca: BMKG: AirAsia QZ8501 Berhadapan dengan Awan Kumulonimbus hingga 48.000 Kaki

Lapan Citra cuaca MTSAT menunjukkan adanya awan tebal (warna merah) di
sekitar lokasi AirAsia QZ8501 terakhir terdeteksi, antara Belitung Timur
dan Kalimantan.

Pelaksana tugas Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murdjatmojo
mengatakan QZ8501 itu sempat melakukan kontak terakhir dengan ATC di
Bandara Soekarno-Hatta pukul 06.12 WIB untuk memintan belok ke kiri dan
naik hingga ketinggian 38.000 kaki.

Djoko mengatakan bahwa Air Traffic Controller (ATC) telah menyetujui permintaan untuk belok ke kiri, namun tidak
dengan permintaan naik. Alasannya, terdapat pesawat lain pada ketinggian
yang lebih tinggi.

Baca: AirAsia QZ 8501 Tak Diizinkan Naik ke Ketinggian 38.000 Kaki, Ini Alasannya

Pengamat
penerbangan, Yayan Mulyana, menuturkan, terdapat pesawat lain yang
posisinya dekat dengan QZ8501, yaitu  Garuda Indonesia GIA602 pada
35.000 kaki, Lion Air LNI763 pada 38.000 kaki, AirAsia QZ502 pada 38.000
kaki, dan Emirates UAE409 pada 35.000 kaki.

Baca: Analisis Awal: AirAsia QZ8501 Terlambat Naikkan Ketinggian?

Kepala
Lapan, Thomas Djamaluddin, mengungkapkan bahwa adanya dinamika cuaca
yang sangat aktif, adanya awan kumulonimbus, dan terdapatnya pesawat di
ketinggian lebih tinggi menyulitkan QZ8501.

Awan kumulonimbus
terbentuk karena adanya penguapan air laut yang hangat dengan cepat.
Awan ini memang tebal, bisa mencapai ribuan kilometer dan memang sulit
dihindari dengan tiba-tiba.

“Kemungkinan pesawat mengalami
turbulensi hebat karena tidak bisa menghindar dari awan kumulonimbus
yang menjulang tinggi. Pesawat tidak mampu menghindar walaupun dengan
naik ke atas. Belok ke kanan atau ke kiri juga sulit, akhirnya harus
masuk,” ungkap Thomas.

Dengan masuk, Thomas mengungkapkan,
pesawat akan mengalami goncangan hebat. “Jika memang masuk, saya tidak
tahu apa yang terjadi, tetapi mungkin pesawat tidak bisa dipertahankan
ketinggiannya,” imbuh Thomas.

Kondisi mungkin dapat lebih buruk
dengan adanya angin. Data Satellite Disaster Early Warning System
(Sadewa) milik Lapan menyatakan, ada angin yang bertiup kencang di
sekitar lokasi QZ8501 terakhir terdeteksi.

Menurut BMKG,
kecepatan angin disekitar hilangnya kontak pesawat pada ketinggian
30.000 kaki yaitu 20 knot. Sedangkan pada ketinggian di atas 34.000
kaki, kecepatan anginnya 25 knot.

Flightradar24 Lokasi terakhir pesawat Air Asia QZ8501 yang direkam situs Flightradar24.

Nasib pesawat hingga kini belum diketahui. Masuk ke turbulensi juga
belum tentu berarti pesawat akan hancur. Hingga petang ini, pencarian
masih terus dilakukan di sekitar Bangka dan Belitung.

QZ 8501
membawa 155 penumpang, di mana 149 diantaranya adalah warga negara
Indonesia. Pesawat itu seharusnya tiba di Changi Airport pada pukul 8.30
waktu Singapura. Pesawat yang hilang adalah jenis Airbus A320-200
dengan nomor registrasi PK-AXC.

 




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia