KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA

Senin, 14 Mei 2012

Oleh : Drs. Iwan Gunawan

Persoalan terbesar yang dihadapi bangsa dewasa ini adalah adanya kecenderungan kearah disintegrasi bangsa. Ketika ikrar berbangsa, beratanah air dan berbahasa satu mulai pudar, seiring dengan berkembangnya primordialisme yang sempit dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Maka sumpah pemudapun nyaris tinggal slogan.

Berbagai persoalan yang berbau sara dan tindak kekerasan merupakan isue aktual sehari hari dari masyarakat yang sedang sakit, dimana kriminalitas tidak lagi dianggap sekedar masalah sosial tetapi menjadi komoditi yang menguntungkan dalam memperbesar oplah, seiring moto “The bad news is good news” Quo vadis! Kata orang Yunani, mau dibawa kemana bangsa ini? Sebab tegak atau runtuhnya suatu negara ditentukan oleh kemampuan dari bangsa itu sendiri dalam mengekspresikan eksistensinya sebagai sebuah bangsa yang terhormat, dimana rasa aman bukanlah kemewahan dan kerukunan menjadi bagian dari kohesifitas bangsa yang harus diperjuangkan baik dari ancaman luar maupun gangguan dari dalam. Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan negara ini merupakan tanggung jawa semua warga negara, paling tidak undang-undang telah mengamanatkan demikian.

Persoalannya, apakah kesadaran ini telah menjiwai seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, yang nota bene awam dan menganggap pertahanan keamanan merupakan tanggung jawab TNI dan Polri belaka?. Lalu apakah ada upaya yang cukup dari para wakil rakyat untuk mensosialisasikan undang-undang tentang pertahanan kepada seluruh rakuyat?. Dan apakah wacana yang berkembang tentang philosofi pertahanan itu sendiri sudah tepat?, atau perlukan pertahanan keamanan negara ini dirumuskan dalam sebuah kerangka ilmiah sebagai “manajemen pertahanan keamanan negara”? disamping perlunya melihat manajemen pertahanan keamanan negara itu sendiri sebagai suatu sistem yang uth. Nampaknya masih memerlukan kontemplasi dan dapat menjadi wahana diskusi yang menarik.

Padahal aset terpenting yang menjadi modal utama tegaknya bangsa dan negara ini adalah adanya kesadaran untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu yang melahirkan semangat nosionalisme. Semangat ini begitu mengkristal dimasa lalu dibawah pesona retorik presiden Soekarno, dan dipertahankan di era Presiden Soeharto dengan sebuah konsep tentang SARA, sekalipun dengan cara yang berbeda, tapi harus diakui bahwa konsep ini sangat efektif dan mampu meredam bebagai gejolak kearah disintegrasi bangsa selama berpuluh tahun. Terlepas dari upaya upaya represif yang dilakukannya dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan demokrasi, tapi sekaligus memberikan konstribusi terhadap lahirnya era reformasi, walaupun “eforia demorasi” dengan berbagai dampak yang menyertainya menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari, yaitu ketika kemokrasi diartikan sebagai kebebasan untuk berbuat justru mengikis sedikit demi sedikit rasa kesatuan dan persatuan sebagai sebuah bangsa.

Barangkali wacana tentang pertahanan keamanan yang dikembangkan oleh para penyelenggara negara selama ini diperlu dikaji ulang, hal ini juga dinyatakan oleh Dirjen Srahan Mayjen sudrajat dalam penataran Manajemen Strategic yang diselenggarakan Badan Diklat Dephan Januari lalu. Karena pertahanan dan keamanan seolah0olah dianggap dua hal dan tanggung-jawab yang berbeda, dimana yang satu menjadi tanggung jawab TNI dan lainnya menjadi tanggung jawab Polri. Dan hal ini menjadi jelas dengan keluarnya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Tap MPR No. VII/MPR/2000, yang menetapkan TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Dalam hal ini TNI sebagai alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan sedangkan Kepolisian sebagai alat negara berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dimana konsep tertahanan negara dimaksudkan untuk menangkal dan mengatasi segal bentuk ancaman dari luar negeri. Sekalipun dikatakan kedua pihak dapat saling berkoordinasi dalam arti saling membantu dengan prosedur tertentu, akan tetapi filosofi yang terkandung dari makna pertahanan yang berorientasi terhadap ancaman dari luar dan keamanan yang berorientasi terhadap ancaman dari dalam, tidak dapat menutupi perbedaan tersebut yang mengandung konsekwensi siapa bertanggung jawab terhadap apa. Dan dalam wacana ini rakyat pada umumnya seolah-olah tidak dilibatkan.

Pada Undang-undang pertahanan negara mengisyaratkan dengan tegas bahwa hakekat pertahanan negara bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya. Dan persepsi salah ini menjadi semakin lengkap karena orang-orang yang berkompeten untuk mensosialisasi undang-undang tersebut terlalu sibuk dalam hiruk pikuk dunia politik yang akan menentukan eksistensi mereka di tahun 2004 mendatang. dan lebih tertarik untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat kedutaan yang ada di luar negeri yang apapun alasannya rasanya menjadi terlu naif, dimana bekerja sambil rekreasi ini telah menjadi karakter fenomenal sejak jaman orde baru. Itu sebabnya sidang-sidang di gedung DPR lebih sering kosong atua tidak mencapai kuorum karena anggota dewan yang terhormat lebih suka rapat di hotel mewah disamping adanya alasan lain yang lebih politis tentunya. disamping itu pola Recruitment komponen pertahanan negara yang dilaksanakan sudah jauh menyimpang dari tujuan semula sebagaimana yang dimaksud oleh UU No. 1 tentang Prajurit ABRI maupun UU No. 3 th. 2000 tentang pertahanan negara. Dimana Wajib Militer (wamil) sebagai salah satu bentuk dari tanggung jawab masyarakat dalam bela negara, hanya dijadikan alternatif pencarian lapangan kerja yang “nota bene” bukan menjadi rahasia umum membutuhkan biaya tertentu. Lalu apa yang dihasilkan selain semangat patriotisme keinginan untuk membela negara?, tidak lain perhitungan cost dan benevit yang berakibat terjadinya krisis moral bagi para taruna sebagai akibat adanya tuntutan investasi yang harus kembali. Sekali lagi tentu tidak semua berfikir demikian, tapi paling tidak turut memberikan justifikasi terhadap phenomena tersebut.

Namun demikian tentu saja, krisis ekonomi merupakan muara dari semua permasalahan tersebut. Kesenjangan yang semakin jauh antara sikaya dan simiskin, kebijaksanaan pemerintah yang dianggap tidak memihak masyarakat lapis kebawah, tuntutan kebutuhan untuk bertahap hidup, serta semakin langkanya lapangan kerja bagi para kerah bitu, dan sebagainya, menyebabkan orang semakin impulsif dan mudah terprofokasi.

Malangnya “krisis” itu sendiri sering terjadikan komoditi politik para penyelenggara negara, dimana kebijaksanaan yang tidak populer serta merta menjadi momentum untuk memantapkan eksistensi mereka dalam meyongsong pemilu 2004, yang tentunya tidak mengherankan apabila ujung-ujungnya adalah tuntutan untuk mundur. sementara kelompok lain menanggapinya sebagai sebuah upaya dari kelompok “Post power sindrom”, dan “Statusquo”. Terlepas dari siapa yang benar, yang jelas perlu adanya suatu renungan tentang proporsionalitas suatu tuntutan dan keterbukaan untuk menerima koreksi. Karena bagaimanapun persoalan-persoalan tersebut memberikan konstribusi yang tidak kecil terhadap kohesitas berbangsa, sehingga memberikan cukup alasan tentang pentingnya pengelolaan Pertahanan keamanan negara secara profesional, ilmiah. Dengan kata lain, bahwa implementasi “Manajemen Pertahanan” merupakan tuntutan yang tidak lagi dapat ditawar. Persoalannya. Apa? dan Bagaimana? “Manajemen pertahanan”, kenyataan memang belum pernah dirumuskan sebagaimana konsep-konsep manajemen pada umumnya.

Sesungguhnya keperihatinan ini telah lama menjadi pemikiran para pemimpin di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Pertahanan Dephan (Pusdiklat Jemenhan), selain dengan menyelenggarakan seminar-seminar, simposium atau saresehan yang melahirkan begagai produk kajian, pokok pikiran baik tentang manajemen sebagai sebuah ilmu maupun dalam kaitannya dengan pertahanan keamanan, dengan melahirkan “pokok-pokok pikiran baik tentang manajemen modern”, Sistem manajemen sumber daya hankamneg” bahkan dengan menyelenggarakan kurus-kursus secara reguler dan khusus. Tujuannya adalah bagaimana menciptakan para profesional dibidang manajemen pertahanan keamanan negara. Tentu saja ini belum cukup karena lingkupnya yang terbatas dalam lingkungan TNI/Polri dan Dephan.

Namun demikian sesungguhnya sejak lahirnya UU No. 20 Th. 1982 tentang “Pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara R.I, yang dirubah menjadi UU No. 1 yang disempurnakan dengan UU No. 3 Th. 2002 tentang “Pertahanan Negara” serta UU No. 2 tentang Prajurit ABRI, Keppres tentang Organisasi AbRI dan Dephan dsb, pada hakekatnya merupakan bagian dari Manajemen Pertahanan itu sendiri, yaitu aturan pokok bagaimana mengelola pertahanan keamanan negara. Dimana yang dimaksud pengelolaan pertahanan negara menurut UU RI No. 3 Tahun 2002 adalah “segala kegiatan pada tingkat strategis dan kebijakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian Pertahanan negara”. Melalui UU ini selain pembakuan pengertian tentang bela negara, sishankamrata hakekat dan fungsi serta pembinaan TNI, termasuk perencanaan, pengorganisasian, penyelenggaraan serta pengendaliannya telah dibahas. Hanya saja belum merupakan suatu sistem yang utuh sebagai sebuah sistem pertahanan keamanan negara. Sebagai contoh. Ketika Undang-undang 20 Tahun 1982 tentang “Pokok-pokok Pertahanan Keamanan” diberlakukan, undang-undang tentang “rakyat Terlatih”, Linmas belum dilahirkan. Padahal peraturan tersebut merupakan kesatuan dari sebuah sistem pertahanan keamanan negara yang utuh, sehingga tentu tidak dapat dilaksanakan. Padahal manajemen pertahanan sebagai suatu sistem tidak dapat terlaksana secara efektif apa bila ada bagian dari elemen sistem tersebut tidak berfungsi. Hal ini disebabkan karena persoalan Pertahaan Keamanan merupakan masalah yang sangat kompleks sehingga penangananya harus komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen pertahanan negara, baik TNI sebagai komponen utama, komponen cadangan maupun komponen khusus termasuk Polri.

Acuan lain yang dapat digunakan adalah saresehan yang diselenggarakan Pusjemen pada tahun 1997 berhasil merumuskan Sistem Manajemen Sumber Daya Pertahanan Keamanan”. Dimana Manajemen Pertahanan dianggap sebagai supra sistem dari tiga sub sistem manajemen pertahanan yang terdiri dari “sistem manajemen sumber daya”, sistem manajemen pembinaan kekuatan/kemampuan pertahanan keamanan negara dan sistem manajemen penggunaan kekuatan/kemampuan pertahanan keamanan negara.

Dan bila dikaitkan dengan hakekat dari manajemen itu sendiri sebagai “suatu proses, seni dan ilmu mengelola sumber daya secara efektif dan efisien”, kiranya dapat ditarik suatu rumusan bahwa apa yang dimaksud dengan manajemen pertahanan Yaitu sebagai, “Suatu proses pengelolaan sumber daya nasional menjadi sumber daya potensial, pembinaan kekuatan/kemampuan hingga penggunaannya secara efektif dan efisien untuk kepentingan pertahanan keamanan negara”. Dalam hal ini proses pengelolaan tersebut mengandung fungsi-fungsi manajemen. Akan tetapi manajemen pembinaan kekuatan/kemampuan pertahanan keamanan dan sub sistem manajemen penggunaan kekuatan/kemampuan pertahanan keamanan negara belum dirumuskan. Padahal penyelenggaraan pertahanan keamanan harus dilaksanakan secara komprehensif sebagai suatu sistem pertahanan keamanan yang utuh. Yang outputnya tentu saja selain terwujudnya komponen kekuatan pertahanan keamanan nasional, termasuk didalamnya Warga Negara yang memiliki ketahanan nasional yang tangguh. Sehingga tidak mudah diprofokasi dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan tujuan tertentu untuk kepentingan perorangan, kelompok atau bahkan tidak mustahil negara lain. Karena bagaimanapun fakta menunjukkan Indonesia terlanjur dianggap sebagai sebuah negara dengan rakyat yang melitan dan diakui atau tidak merupakan ancaman potensial bagi negara tertentu dibidang terorisme. Hingga tidak mengherankan apabila keberadaan IMF yang dianggap kepanjangan tangan AS, kebijaksanaannya justru malah mengacaukan perekonomian dan meletakan Indonesia pada ketergantungan yang berkepanjangan. Dimana krisis ekonomi menjadi sumber dari berbagai krisis-krisis lainnya. Pergeseran nilai menjadi krisis moral, kriminalitas, dan menjadi lahan penipuan yang subur terhadap masyarakat yang putus asa.

Kecurigaan ini menjadi masuk akal karena tidak ada satu negarapun yang dapat melakukan agresi pada negara lain tanpa alasan objektif yang dibenarkan secara internasional. Tapi jangan lupa, banyak yang dapat dilakukan melalui subersif. Dengan menghancurkan dan mengontrol perekonomian atau merusak sebuah generasi menjadi generasi “Loyo” yang tidak mampu bersaing scara intelektual melalui jalur obat psokotripika dan pornografi. Oleh karenanya dalam kondisi sulit seperti ini tidak ada lain yang dapat dilakukan selain memperkuat dan mengoptimalkan peran masyarakat dalam menangkal ancaman dalam berbagai bentuk yang mengganggu integritas sebagai sebuah bangsa. Melalui suatu konsep Manajemen pertahanan negara yang diimplementasikan dalam pertahanan rakyat semesta.

Memang tidak mudah dan diperlukan banyak kepala dalam perumusannya, akan tetapi bukan merupakan hal yang mustahil. Mari duduk bersama satukan pendapat, libatkan seumua unsur inter departemen dan. Rumuskan !




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia