DIPLOMASI “BADMINTON” CHINA UNTUK LAUT INDONESIA

Rabu, 1 Agustus 2012

Beijing, Sudah sekitar 30 menit Wakil Kepala Staf Angkatan Laut China Laksamana Muda Xu Hongmeng dan Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Laut (Asops Kasal)Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan, berbincang serius tentang kerja sama angkatan laut Indonesia dan China di masa datang.

Pertemuan di Markas Besar Angkatan Laut China akhir pekan lalu yang berlangsung hangat dan serius itu, sesaat terhenti. Namun, seketika itu pula perbincangan menjadi makin hangat meski topik yang muncul menyimpang dari bahasan utama pertemuan itu yakni menjalin saling pengertian angkatan laut Indonesia dan China.

Laksamana Muda Xu Hongmeng tiba-tiba menanyakan kabar pebulutangkis Indonesia Taufik Hidayat.”Olimpiade London dua hari lagi akan dibuka, apakah Taufik Hidayat ikut bertanding,” kata perwira tinggi Angkatan Laut China tersebut dengan santai.Ia menambahkan,”Taufik Hidayat banyak penggemarnya di China”. Asops Kasal Didit Herdiawan pun menjawab,”Oh ya.mungkin Taufik ikut dalam tim Olimpiade London 2012. Dan Lin Dan (pebulutangkis China-red) juga ikut kan “dia juga muda, tampan dan terlatih..,”.

Pada Olimpiade London 2012, untuk cabang bulutangkis Indonesia menurunkan dua pemain andalannya di tunggal putra yakni Simon Santoso dan peraih emas Olimpiade 2004 Athena, Taufik Hidayat. Sedangkan China menurunkan pemain terbaiknya antara lain Lin Dan , Chen Long, Li Xuerui, dan Lee Chong Wei yang kini merupakan pemain peringkat dua dunia.

Usai berbincang tentang kedua pemain andalan masing-masing, kedua pejabat angkatan laut dua negara itu pun tertawa renyah. Dan Xu Hongmeng pun kembali berkata santai namun serius,”Saya berharap jika kapal-kapal perang kita bertemu di laut, suasananya akan hangat seperti pertemuan sore ini”.

Pernyataan Xu Hongmeng itu mau tak mau mengingatkan adanya insiden “saling ancam” antara kapal-kapal perang TNI Angkatan Laut dan Angkatan Laut China di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau pada 2009 dan 2010.Kala itu, sejumlah kapal nelayan China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal.

Sebagai pengawal kedaulatan negara di laut, kapal-kapal perang TNI Angkatan Laut pun menghalau kapal-kapal nelayan China itu untuk keluar wilayah perairan Natuna. Namun, langkah kapal-kapal perang TNI Angkatan Laut itu mendapat “sambutan tidak bersahabat” dari kapal-kapal perang Angkatan Laut China yang “mengawal” kapal-kapal nelayan China tersebut.

Mediator China mengklaim kedaulatan hampir di seluruh wilayah laut yang kaya akan sumber daya dan merupakan jalur pelayaran utama di Laut China Selatan. Namun, beberapa negara anggota ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei juga sama-sama mengklaim wilayah tersebut.

Sebagai negara yang tidak bersengketa di Laut China Selatan, Indonesia mempoisisikan dirinya sebagai pihak yang netral yang dapat menjadi mediator potensial dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan.Sikap Indonesia itu ditegaskan Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia Imron Cotan yang menyatakan,”Indonesia akan terus menjadi mediator bagi penyelesaian sengketa di Laut China Selatan antara negara-negara ASEAN dengan China”.

Jakarta sejak 1990 terus mendorong adanya penyelesaian damai antara negara-negara ASEAN dengan China terkait Laut China Selatan. Upaya itu terus dilakukan Jakarta, termasuk setelah pertemuan tingkat menlu ASEAN di Kamboja dua pekan lalu tidak mencapai kata sepakat tentang posisi bersama ASEAN terhadap isu Laut China Selatan.

Untuk pertama kalinya sejak 45 tahun ASEAN didirikan, organisasi tersebut tidak berhasil membuat pernyataan bersama setelah mengadakan pertemuan tingkat menlu di Kamboja. Kegagalan tersebut dikhawatirkan dapat menahan kemajuan pembahasan tentang tata perilaku (code of conduct), yaitu aturan ditujukan untuk menenangkan ketegangan dalam masalah Laut China Selatan.

Persoalan di Laut China Selatan akan sama dari waktu ke waktu, dan diyakini akan semakin terbuka mengingat perbedaan pandangan antara China dan negara-negara ASEAN dalam penyelesaian di wilayah tersebut. China menghendaki agar masalah Laut China Selatan tidak di-internasional-kan oleh para negara pihak. China ingin masalah di Laut China Selatan diselesaikan lewat perundingan bilateral dengan masing-masing negara pihak, Kepentingan Indonesia Sebagai negara yang tidak bersengketa di Laut China Selatan, Indonesia mempoisisikan dirinya sebagai pihak yang netral yang dapat menjadi mediator potensial dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. Namun dengan perkembangan geopolitik terkait Laut China Selatan, posisi Indonesia tersebut menjadi tidak relevan lagi.

Bagaimanapun, Indonesia memiliki kepentingan yang dipertaruhkan di Laut China Selatan, khususnya wilayah tumpang tindih di Zona Ekonomi Eksklusif di Kepulauan Natuna dengan wilayah China di bagian selatan Laut China Selatan yang diklaim China dengan “9-dotted-line”.

Ristian Atriandi Supriyanto peneliti Pusat Kajian Asia Timur Universitas Indonesia menilai keberadaan Indonesia yang memposisikan dirinya sebagai mediator dalam penyelesaian perselisihan di Laut China Selatan yang telah berjalan sekitar 20 tahun, kini menjadi tidak relevan lagi, apalagi China sebelumnya dengan penuh percaya diri “datang” di sekitar Kepulauan Natuna didukung kapal-kapal perang yang modern serta mumpuni pada 2009 dan 2010 untuk melindungi para nelayannya ketika dihalau kapal-kapal perang TNI Angkatan Laut dari wilayah Natuna.

Selain itu, sulit bagi Indonesia untuk menerima klaim China yang menyatakan Natuna sebagai wilayah yuridiksinya berdasar cacatan sejarahnya, yang tentu bertentangan dengan konvensi hukum laut internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Karena itu sebulan setelah insiden pada Juli 2010 Indonesia mengirimkan nota diplomatik kepada PBB atas klaim China tersebut.

Ia menambahkan Indonesia juga memiliki pandangan berbeda dengan China dalam rangkaian penyusunan kode etik (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan. China ingin terlibat langsung dalam keseluruhan proses penyusunan CoC, sedangkan Indonesia menginginkan adanya kesamaan sikap dari ASEAN sebelum bernegosiasi dengan Beijing.

Tak hanya itu, Indonesia juga mendukung adanya partisipasi internasional dalam penyelesaian sengketa di Laut China Selatan, semisal keterlibatan Amerika Serikat dalam berbagai forum regional. Jakarta melihat hal itu untuk menjaga keseimbangan yang dinamis atau “dynamic equilibrium,” untuk mencegah dominasi China.

“Jadi secara diam-diam, meski tidak memposisikan sebagai negara peng-klaim di Laut China Selatan, Indonesia mengakui adanya kepentingan pihaknya di wilayah perairan tersebut yang patut dipertaruhkan yang tentu agak mengusik kepentingan China,” kata Ristian.

Sengketa perbatasan di Laut China Selatan juga tidak terlepas dari upaya penguasaan atas kandungan minyak dan gas di wilayah tersebut. China memberikan perhatian khusus pada wilayah perairan Natuna utamanya di Blok D-Alpha yang memiliki kandungan gas terbesar di dunia yakni sekitar 40 triliun cubic feet (TfC).

Meski tidak terang-terangan menyatakan sebagai negara peng-klaim, Indonesia mengukuhkan keabsahannya atas wilayahnya di blok tersebut dengan melakukan kesepakatan eksplorasi antara Pertamina bersama ExxonMobil, Total, dan Petronas pada Desember 2010. Produksi pertama di perkirakan pada 2021.

Sebelumnya, pada 2002 Indonesia juga bersepakat dengan Petro Vietnam dan Petronas untuk melakukan eksplorasi di Blok 10 dan 11.1 di wilayah Nam Con Son, yang merupakan bagian dari wilayah yang di klaim China di Laut China Selatan.Hal itu tentu “mengusik” kepentingan China dimana perusahaan minyaknya CNOOC baru saja akan memulai eksplorasi berdasar atas klaimnya di wilayah itu.

Kepentingan Indonesia atas wilayahnya di perbatasan Laut China Selatan juga terkait jaminan keamanan “Sea Lines Of Communication” (SLOC) atau Garis-garis Perhubungan Laut (GPL) yang menjadi jalur utama bagi negara-negara Asia Timur Laut seperti yakni Jepang, Korea Selatan, China dan Taiwan yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Dan yang terpenting lagi sumber daya ikan yang melimpah di Natuna memberikan sumbangan yang besar bagi perekonomian masyarakat setempat.Atas berbagai kepentingan tersebut dan realitas geopolitik yang terjadi terkait Laut China Selatan, maka Indonesia diharapkan dapat memainkan perannya sebagai mediator secara nyata tanpa mengabaikan kepentingannya atas Laut China Selatan.

Selain hadir nyata secara ekonomi, Indonesia juga tetap harus hadir secara penuh berdaulat dengan memodernisasi kapal-kapal perangnya agar bisa lebih menjaga secara utuh wilayah perairannya, khususnya yang berbatasan dengan Laut China Selatan.Itu tak terlepas dari perkembangan geopolitik terkait Laut China Selatan. Terlebih Beijing berencana menambahkan sekitar 1.000 personil angkatan laut dan sejumlah peralatan baru untuk menjaga kepentingannya di kawasan tersebut.

Petugas pengawas perairan China, Sun Shuxian mengatakan frekuensi kegiatan patroli laut akan lebih ditingkatkan. Langkah tersebut dilakukan untuk memperkuat penegakan hukum China di wilayah perairan yang mereka klaim.

Ibarat badminton, diplomasi yang dimainkan harus dipersiapkan matang baik secara strategis maupun taktis hingga kepentingan nasional tetap terjaga.

Sumber  :   Antara




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia