Nasib Moluccas di Belanda pasca Kejatuhan Kabinet Mark Rutte

Rabu, 16 Mei 2012

Dampak dari badai ekonomi yang terus mendera Negeri Belanda serta perseteruan politik dengan Partai Kebebasan pimpinan politisi anti Islam, Geert Wilders, berujung pada mundurnya Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte bersama kabinetnya dari kursi pemerintahan. Selasa 24 April 2012 yang lalu, di depan parlemen Belanda, Rutte mengatakan, permasalahan yang dihadapi Belanda terlalu besar. Perekonomian mandeg, pengangguran tinggi dan hutang pemerintah meningkat lebih pesat dari yang bisa dipertanggung-jawabkan.

“Itulah fakta-fakta yang tidak bisa diabaikan. Saya tidak berlagak, parlemen dan elektorat yang harus mengambil tindakan”, aku Rutte dengan nada lemas.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/bulletin/pm-belanda-imbau-parlemen-ambil-tindakan

Kendati kabinet Rutte bubar, namun sesuai mekanisme politik yang berlaku di Belanda, Rutte dan kabinetnya tetap akan memerintah sebagai kabinet pengawas sampai terbentuk pemerintah baru setelah pemilu. Situasi politik ini mungkin akan mempercepat jadwal pemilu yang sedianya September 2012, kemungkinan besar akan dimajukan.

Pergeseran nilai perjuangan

Keterpurukan ekonomi dan situasi politik yang sedang terjadi di negeri kincir angin ini mau tidak mau, suka atau tidak suka akan berdampak terhadap para pendatang, khususnya terhadap para ‘pejuang’ RMS dan OPM yang selama ini hidup di bawah tanggungan pemerintah Negeri Belanda. Mereka bukanlah imigran biasa. Tetapi imigran khusus yang menyandang predikat ‘pejuang’ karena kontribusi mereka di masa lalu untuk kepentingan politik penjajah Belanda.

Maka wajar kalau perjuangan mereka mendapat penghargaan yang layak dari Ratu Belanda, yang selanjutnya dilimpahkan kepada pemerintah untuk membiayai hidup mereka. Pada awalnya, memang 100 persen biaya hidup mereka ditanggung oleh pemerintah. Tetapi mengingat jumlahnya makin bertamahan karena seiring bertambahnya generasi para ‘pejuang’ itu, tentu secara ekonomi memberatkan keuangan negara.

Untunglah, generasi baru orang Maluku dan Papua yang sekarang tinggal di Belanda, (generiasi ketiga dan keempat) sudah berubah pola pikirnya. Untuk perbandingan, generasi pertama adalah tentara KNIL yang diboyong awal tahun 1950 ke Belanda, disusul sepuluh tahun kemudian dari Papua, yaitu tentara OPM yang mencari perlindungan di negeri kincir angin itu.

Seiring perkembangan jaman, kondisi hidup generasi baru Maluku saat ini sudah jauh lebih sejahtera ketimbang generasi pertama. Mereka hidup dalam alam pembauran (integrasi) dengan berbagai kultur dan multi etnis. Sistem integrasi yang digalakkan pemerintah Belanda selama beberapa dekade ini, sedikit banyak telah mengubah pola pikir mereka. Sistem ini juga ikut mengubah ideologi generasi muda tentang cita-cita RMS maupun Papua merdeka. Mereka umumnya menyadari bahwa separatisme tidaklah realistis. Tokoh pendiri OPM Nicholas Jouwe yang sudah empat puluh tahun lebih tinggal di Belanda adalah saksi dari pemahaman baru ini.

http://politik.kompasiana.com/2012/04/02/separatisme-tak-lagi-realistis/

Dengan pola hidup dan pola pikir baru tersebut, mereka juga menyadari bahwa tidak selamanya kondisi keuangan mereka akan terus bergantung kepada Pemerintah Belanda. Mereka harus sekolah, dan bersaing di dunia kerja untuk menggapai kesejahteraan hidup. Itulah yang terjadi. Banyak pengusaha sukses di Belanda adalah keturunan Maluku dan Papua. Banyak pemain bola terkenal yang memiliki darah Ambon, seperti mantan kapten Timnas Belanda Giovanni van Bronckhorst misalnya.

Ada semacam pergeseran pemahaman, sebagai dampak dari pergeseran nilai hidup. Generasi baru Maluku dan Papua di Belanda memang bangga dengan bendera RMS (Benang Raja) dan bendera OPM (Bintang Kejora). Namun bag mereka yang berpola pikir maju, bendera itu lebih sebagai simbol kebanggaan masa lalu belaka. Bahkan memperjuangkan RMS dan Papua merdeka bagi generasi baru disana adalah ambisi sekelompok “elite” saja. Karena, sebetulnya mereka tahu betul, masa depan mereka telah menemukan pijakan yang jelas dan pasti, yaitu di tanah Belanda.

Dengan perkembangan seperti itu, ketergantungan mereka pada keuangan pemerintah Belanda, sedikit demi sedikit akan berkurang. Namun demikian, terguncangnya perekonomian Belanda saat ini, serta carut-marut situasi politik pasca kejatuhan kabinet Rutte, setidaknya bisa membuat para aktivis RMS dan OPM di Belanda guncang. Karena keran keuangan yang selama ini mengalir lancar untuk mendanai aktivitas mereka akan segera tertutup rapat.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia