ARTIKEL KEBIJAKAN PENYANDANG DISABILITAS

Kamis, 24 November 2016

                                                                                                               ARTIKEL MAJALAH WIRA

KEBIJAKAN PENANGANAN

PENYANDANG DISABILITAS PERSONEL KEMHAN DAN TNI

Oleh: Erlin Sudarwati, SKM,MM

PENYANDANG DISABILITAS

Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang memperhatikan dan mewadahi tentang hak penyandang disabilitas dalam kegitan kehidupannya dalam masyarakat.

Istilah Penyandang Disabilitas, sebelumnya dikenal dengan istilah Penyandang Cacat. Namun perkembangan terakhir Komnas HAM dan Kementerian Sosial memandang bahwa istilah Penyandang Cacat dalam perspektif bahasa Indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi manusia sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusai. Oleh karena itu disepakati bahwa istilah Penyandang cacat diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas. Hal ini juga telah didukung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabiitas.

Banyak orang bingung dengan istilah Cacat, Difabel, dan Disabilitas. Bahkan selama ini masyarakat lebih familier menggunakan istilah penyandang cacat. Sekilas ketiga istilah memiliki makna yang sama, namun akan diterima berbeda secara psikologis bagi para penyandangnya ketika berbaur dalam lingkungan sosial, dimana label yang disematkan bagi mereka akan menciptakan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cacat merujuk pada barang atau benda mati, atau dalam kata lain Afkir. Tentunya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan kondisi tersebut. Istilah Penyandang Cacat mengandung nilai yang cenderung membentuk makna negatif. Penyandang cacat dianggap sebagai sekumpulan orang yang tidak berdaya, tidak berkemampuan dan menyandang masalah karena ‘tercela’ atau cacat.

Difabel merupakan akronim dari Different Ability, atau Different Ability People, manusia dengan kemampuan yang berbeda. Istilah ini digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Sedangkan istilah Disabilitas merupakan sebuah pendekatan demi mendapatkan istilah yang netral dan tidak menyimpan potensi diskriminasi dan stigmatisasi. Definisi yang diberikan oleh International Classification of Functioning for Disability and Health, yang kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan oleh The World Health Organization (WHO), yaitu “Disability serves as an umbrella term for impairments, activity limitations or participation restrictions” (Disabilitas adalah “payung” terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi).

Sedangkan klasifikasi penyandang disabilitas menurut ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia, The World Health Organization (WHO), ada tiga kategori penyandang disabilitas yaitu :

  1. Impairment, yaitu orang yang tidak berdaya secara fisik sebagai konsekuensi dari ketidaknormalan psikologik, psikis, atau karena kelainan pada struktur organ tubuhnya. Tingkat kelemahan itu menjadi penghambat yang mengakibatkan tidak berfungsinya anggota tubuh lainnya seperti pada fungsi mental. Contoh dari kategori impairment ini adalah kebutaan, tuli, kelumpuhan, amputasi pada anggota tubuh, gangguan mental (keterbelakangan mental) atau penglihatan yang tidak normal.

  2. Disability, yaitu ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas pada tataran aktifitas manusia normal, sebagai akibat dari kondisi impairment tadi. Akibat dari kerusakan pada sebagian atau semua anggota tubuh tertentu, menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya untuk melakukan aktifitas manusia normal, seperti mandi, makan, minum, naik tangga atau ke toilet sendirian tanpa harus dibantu orang lain.

  3. Handicap, yaitu ketidakmampuan seseorang di dalam menjalankan peran sosial-ekonominya sebagai akibat dari kerusakan fisiologis dan psikologis baik karena sebab abnormalitas fungsi (impairment), atau karena disabilitas (disability) sebagaimana di atas. Disabilitas dalam kategori ke tiga lebih dipengaruhi faktor eksternal si individu penyandang disabilitas, seperti terisolir oleh lingkungan sosialnya atau karena stigma budaya, dalam arti penyandang disabilitas adalah orang yang harus dibelaskasihani, atau bergantung bantuan orang lain yang normal.

Adapun menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016, yang dimaksud Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Sedangkan Penyandang Disabilitas Personel Kemhan dan TNI adalah Prajurit Tentara Nasional Indonesia termasuk Prajurit Siswa dan Pegawai Negeri Sipil Kemhan dan TNI yang menderita cacat fisik atau mental sebagai akibat menjalankan dinas maupun bukan karena dinas, yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Penyandang Disabilitas Personel Kemhan dan TNI, merupakan penyandang disabilitas yang terjadi dalam pelaksanaan tugas sebagai abdi negara, artinya disabilitas yang disandangnya bukan dari lahir namun setelah mereka sudah sempat memiliki postur tubuh yang ideal sebagai seorang prajurit maupun sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Hal ini, tentu berbeda secara psikologis dalam menerima kondisi maupun perilaku lingkungannya.

KEBIJAKAN TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

Sebagai bagian dari umat manusia dan warga Negara Indonesia, maka penyandang disabilitas secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, perhatian pemerintah dengan adanya kebijakan atau peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas merupakan sarana untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

Demikian juga bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI, mereka sudah pernah berkontribusi untuk negara dan bangsa. Maka perlu adanya pengakuan bahwa mereka masih bisa berguna dan berpeluang untuk berperan secara optimal dalam segala aspek kehidupannya. Mereka masih mempunyai potensi besar untuk tampil mengukir prestasi gemilang dengan kondisi fisik yang ada melalui berbagai prestasi.

Penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI secara psikologis mereka menjadi kurang percaya diri karena dari postur tubuh yang semula sehat perkasa, karena risiko dalam menjalankan tugasnya menyebabkan menjadi disabilitas, fungsi fisiknya tidak seperti dulu lagi. Namun sesungguhnya penyandang disabilitas tidak ingin dikasihani, tetapi perlu diberikan kesempatan dan difasilitasi agar kekurangan yang ada masih dapat memberikan kebanggaan bagi keluarga serta dapat disumbangkan untuk membangun nusa dan bangsa.

Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas sudah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti halnya yang belum lama ini diterbitkan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas.

Sedangkan untuk mewujudkan kesejahteran penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI, sudah ada kebijakan yang mengaturnya yaitu adanya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2007 tentang Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia. Namun kebijakan ini perlu ditinjau ulang dengan memperhatikan adanya Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undanga Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Serta perlu juga diselaraskan dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tatacara Pemberian Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit TNI.

Banyaknya Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan tentang Penyandang Disabilitas tersebut, ada beberapa perbedaan yang perlu dicermati. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2007 pasal 2 dinyatakan bahwa prajurit penyandang cacat diberikan santunan cacat dan tunjangan cacat sebagai penghargaan pemerintah atas pengorbanannya. Penentuan tingkat dan golongan kecacatan ditetapkan oleh Panglima TNI berdasarkan hasil pengujian Panitia Evaluasi Kecacatan Prajurit. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 pasal 21 dinyatakan bahwa penentuan tingkat dan golongan kecacatan ditetapkan oleh Menteri, Panglima atau Kapolri berdasarkan hasil pengujian panitia evaluasi kecacatan. Namun kriteria cacat dan penghitungan santunan berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2007. Oleh karena itu perlu ditindaklanjuti dengan regulasi atau Peraturan Menteri di bawahnya guna implementasi di lapangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pasal 11 menyatakan bahwa hak penyandang disabilitas antara lain tidak diberhentikan karena alasan disabilitas. Dengan demikian, maka perlu ditindaklanjuti dengan meninjau kembali Peraturan atau Kebijakan yang telah terbit sebelumnya agar tidak terjadi polemik di lapangan bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI. Kebijakan tersebut antara lain adanya ST Panglima No : ST/227/2016, tanggal 23 Februari 2016 tentang perintah agar prajurit penyandang cacat TK III dan II harus diberhentikan dari dinas keprajuritan. Hal ini juga tidak selaras dengan kebijakan yang baru diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan yaitu Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 pasal 3 yang menyatakan bahwa prajurit penyandang cacat tingkat II yang masih mampu melaksanakan pekerjaan atau tugas kedinasan tidak diberhentikan dari dinas keprajuritan, prajurit penyandang cacat tingkat III yang berprestasi atau mempunyai ketrampilan yang dapat dimanfaatkan oleh satuan dapat dipertimbangkan oleh komandan /kasatker untuk tetap melaksanakan dinas keprajuritan. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antara Mabes TNI, Kemhan, dan Asabri untuk membahas tentang kesepakatan dalam menyikapi peraturan yang ada tersebut. Hal ini sudah dibahas pada kesempatan Rapat Koordinasi (Rakor) Penyandang Disabilitas di Pusrehab Kemhan pada tanggal 24 Mei 2016 yang dihadiri oleh para unsur kesehatan dan personalia dari Kemhan dan TNI, serta instansi terkait. Namun sampai sekarang belum ada tindak lanjut tentang upaya untuk meninjau kembali atau revisi kebijakan yang masih menjadi polemik tersebut.

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pasal 4 menyatakan bahwa ragam Penyandang Disabilitas meliputi Penyandang Disabilitas Fisik, Penyandang Disabilitas Mental, Penyandang Disabilitas Intelektual, dan Penyandang Disabilitas Sensoris. Pada saat Rakor Penyandang Disabilitas di Pusrehab Kemhan, juga telah dibahas tentang perlunya kajian dan pemikiran untuk membentuk wadah sebagai sarana Rehabilitasi bagi Prajurit yang mengalami gangguan mental. Selama ini Pusrehab Kemhan baru bisa memberikan rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas Fisik. Oleh karena itu, ada harapan untuk dapat mengembangkan pelayanan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas Mental/Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Hal ini sesuai dengan Undang – Undang Nomor. 18 Tahun. 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, yang menyatakan bahwa ODGJ perlu mendapatkan pelayanan Rehabilitasi.

REHABILITASI DAN AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS

Upaya pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas adalah dengan cara peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas, yang dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas.

Rehabilitasi yang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian penyandang disabilitas seperti dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Fasilitas rehabilitasi tersebut berupa Pusat Rehabilitasi (Rehabilitation Center) yang menyelenggarakan rehabilitasi secara terpadu dalam satu atap berupa rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial.

Pusat Rehabilitasi yang ditujukan bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan yaitu Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan (Pusrehab Kemhan) yang memiliki tugas melaksanakan pelayanan rehabilitasi medik, rehabilitasi vokasional, rehabilitasi sosial, dan perumahsakitan bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI, dengan tujuan untuk mewujudkan penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI menjadi mandiri dan produktif

Kementerian Pertahanan khususnya Pusrehab Kemhan sebagai salah satu instansi yang memberikan pelayanan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI, sudah selayaknya mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang salah satunya dengan menyediakan sarana dan prasarana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Pada Pasal 18 menyatakan bahwa Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.

Hal ini sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 pasal 8 sampai dengan pasal 22 yang mengatur tentang aksesibilitas, menyatakan bahwa setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat, wajib menyediakan aksesibilitas.

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas dan lansia guna mewujudkan kesamaan, kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya. Agar para penyandang disabilitas mampu berperan dalam lingkungan sosialnya, dan memiliki kemandirian dalam mewujudkan kesejahteraan dirinya, maka dibutuhkan aksesibilitas terhadap prasarana dan sarana pelayanan umum, sehingga para penyandang disabilitas mampu melakukan segala aktivitasnya seperti orang normal. Penyediaan aksesibilitas tersebut dapat berbentuk fisik dan non fisik.

Penyediaan aksesibilitas yang berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum meliputi aksesibilitas pada bangunan umum, aksesibilitas pada jalan umum, aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum, serta aksesibilitas pada angkutan umum. Sedangkan penyediaan aksesibilitas yang berbentuk non fisik, meliputi pelayanan informasi dan pelayanan khusus.

Ketentuan operasional tentang aksesibilitas ini dijabarkan di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 30/PRT/M/2006 tanggal 1 Desember 2006, tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, yang merupakan perubahan atas Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468 Tahun 1998, tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan.

Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas. Terhadap aparat Pemerintah yang bertugas dalam penentuan dan pengendalian bangunan gedung dan terhadap penyedia jasa konstruksi yang terlibat dalam penyelenggaraan bangunan gedung, apabila melakukan pelanggaran ketentuan akan dikenakan sanksi dan atau pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, penyediaan fasilitas dan aksesibilitas menurut peraturan tersebut harus memiliki 4 asas, yaitu asas keselamatan, asas kemudahan, asas kegunaan, dan asas kemandirian.

KESIMPULAN

1. Penyandang Disabilitas Personel Kemhan dan TNI merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan dan penghidupannya.

2. Banyaknya Kebijakan/Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Penyandang Disabilitas, ada beberapa perbedaan yang perlu dicermati oleh instansi terkait.

3. Pusrehab Kemhan mempunyai tugas melaksanakan pelayanan rehabilitasi medik, rehabilitasi vokasional, rehabilitasi sosial, dan perumahsakitan bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI. Pusrehab Kemhan sebagai salah satu instansi yang memberikan pelayanan bagi penyandang disabilitas personel Kemhan dan TNI, sudah selayaknya mengimplementasikan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang salah satunya dengan menyediakan sarana dan prasarana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

REFERENSI

1. Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016, tentang Penyandang Disabilitas.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998, tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.

3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 30/PRT/M/2006 tanggal 1 Desember 2006, tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2007 tentang Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia.

5. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 58 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertahanan.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tatacara Pemberian Santunan dan Tunjangan Cacat Prajurit TNI.

8. Kementerian Kesehatan RI, Buletin Disabilitas, Situasi Penyandang Disabilitas, Semester II, 2014.

9. Warta Pusrehab Nomor 37 Juni 2012, Erlin Sudarwati, SMPh, SKM, Aksesibilitas Penyandang Cacat.

10. Warta Pusrehab Nomor 39 Juni 2014, Erlin Sudarwati, SMPh, SKM, Rehabilitator Profesional Menghasilkan Penyandang Disabilitas Yang Mandiri dan Profesional.

Jakarta, September 2016




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia