Osama Bin Laden dan Imam Mahdi Palsu

Jumat, 1 Mei 2009

Osama Bin Laden dan Imam Mahdi Palsu
Robi Nurhadi
Dosen FISIP Universitas Nasional
/Kandidat PhD Pada Program Studi Strategi dan Hubungan Internasional UKM Malaysia
Spesialisasi pada Penanganan Teroris internasional
Judul di atas, mungkin bagi sebagian orang, bukanlah sesuatu yang baru. Tapi, kabar itu menjadi suatu hal yang baru dan menarik, manakala datangnya berasal dari seorang Guru Besar di bidang sejarah politik pada Fakulti Sains Sosial dan Kemanusian, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), yakni Prof. Nik Anuar Nik Mahmud. Pengerusi (Ketua Jurusan Besar) pada Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi itu mengatakan bahwa dari hasil risetnya yang dilakukan waktu mengambil PhD di Inggris, ia menemukan laporan berbentuk drama tertulis yang mengemukakan bahwa para pemikir barat berniat mengcreate kemunculan Imam Mahdi dalam versi barat.

Ide “memalsukan” Imam Mahdi ini bermula dari kekhawatiran mereka, akan keyakinan yang kuat dari kalangan umat Islam, yang meyakini bahwa pada akhir jaman akan muncul sosok Imam Mahdi, yang akan memenangkan peperangan antara dunia Islam dengan dunia barat. Dokumen yang terbukukan pada tahun 80-an itu, ditulis oleh seorang Yahudi, sebagai reaksi atas keberhasilan revolusi Islam di Iran.

Temuan seorang professor bidang sejarah politik itu, tentu mengajak kita untuk mempertanyakan kenyataan yang kini tengah terjadi. Paling tidak, mempertanyakan: “Apakah Osama bin Laden, yang diyakini sebagian orang sebagai “anak sejarah” dari kemunculan Imam Mahdi, merupakan bagian dari kreativitas yang dimaksud?”. Pengajuan pertanyaan ini berkaitan dengan penjelasan buku tersebut, dimana sosok Imam Mahdi akan muncul di central of asia, yakni di sekitar Afganistan. Bukankah, opini dunia barat selama memerangi teroris pacsa tragedi WTC, menjadikan Afganistan sebagai basecamp-nya Osama bin Laden dengan sekte Al Qaedanya. Artinya, boomingnya ketokohan Osama bin Laden pada tahun 2001, seakan telah dipersiapkan sejak tahun 80-an, yakni 20 tahun sebelumnya.

Atas kenyataan ini, ada tiga aliran pemikiran yang berkembang. Pertama, pemikiran yang mempercayai bahwa Osama bin Laden bagian dari skenario barat. Dalam bahasa lain, ia adalah sosok yang dimunculkan untuk memberikan justifikasi bagi aksi-aksi kekerasan dari dunia barat terhadap dunia Islam. Aksi pemboman WTC yang (klaimnya) dilakukan oleh WTC, dalam perspektif cost and benefit, banyak menguntungkan dunia barat. Namun, pada saat yang sama banyak merugikan dunia Islam. Cost yang mesti dibayar oleh dunia Islam dalam kasus WTC-nya Osama, adalah stigma akan citra kekerasan yang melekat pada dunia Islam. Bagi para aktivis dakwah, hal itu merupakan pukulan yang sangat berat, karena ia telah merusak “kemasan” dakwah sebelum dakwah dilakukan. Belum lagi, dalam banyak hal lain yang berkaitan dengan penggunaan trust sebagai “pilar bisnis” yang usually digunakan oleh umat Islam dalam melakukan transaksi sosial, politik dan ekonominya.

Yang terkait langsung dengan skenario akhir jaman yang diyakini oleh sebagian besar umat Islam, adalah terkait dengan pembentukan citra Imam Mahdi itu sendiri. Kalaulah di satu sisi, umat Islam meyakini bahwa Osama bin Laden bagian dari rentetan kemunculan Imam Mahdi, sementara umat di dunia non Islam mengeneralisasi pendekatan kekerasan yang dilakukan Osama, maka umat Islam akan mengalami kerugian moral akibat pencitraan Imam Mahdi yang dianggap akan mengedepankan kekerasan dalam mencapai tujuan. Tentu hal ini, juga akan menimbulkan pertanyaan bagi umat Islam sendiri: bukankah Islam itu rahmatan lil ‘alamin?.

Sedangkan benefit yang didapatkan oleh dunia barat adalah klaim kebenaran, yang berangkat dari kemenangan strategi “PR”-nya. Dengan kasus WTC, seakan-akan memberikan pembenaran bagi dunia barat untuk melakukan invasi, sebagai sebuah sikap pembalasan yang secara moral terbenarkan. Terlebih lagi, pendudukannya secara paksa dan penuh kekerasan yang dilakukan dunia barat, membuahkan keuntungan yang berlipat-lipat dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam perspektif ini pula, pemikiran aliran ini, melihat Osama bin Laden sebagai “kontraktor” yang melakukan proyek ruislag antara menara WTC di Amerika Serikat dengan kekuasaan politik di negara basis umat Islam dan sumur-sumur minyak yang membuat wajah dunia barat bisa terus “awet muda”.

Aliran pemikiran kedua, melihat Osama bin Laden dengan Al Qaedanya sebagai bagian dari banyak sekte penganut aliran keras, yang lahir sejak fatwa jihad dikumandangkan oleh Mufti Besar Turki Utsmani menjelang keruntuhannya pada tahun 1914. Fatwa itu berbunyi: “Fardlu ‘ain hukumnya bagi umat Islam untuk membantu empire Turki Utsmani menghadapi “serbuan” dunia barat, karena hal itu menyangkut martabat umat Islam di dunia”. Fatwa yang berlaku tanpa ada batasan waktu itu, telah memunculkan banyak gerakan kekhalifahan yang terfragmentasi dalam bentuk sekte-sekte. Dan Al Qaeda adalah bagian dari sekte yang dimaksud. Di kawasan-kawasan lain, yang basis Islamnya kuat, juga muncul sekte serupa. Seperti Jemaah Islamiyah di kawasan Asia Tenggara, dan Ikhwanul Muslimin di kawasan Afrika Utara, serta Jemaat Al Islami di Asia Selatan. Masing-masing di antara mereka, meski memiliki sejarah metamorfosis yang panjang, tujuan substansi akhirnya sama, yakni terwujudnya Daulah Islamiyah.

Mereka menganggap bahwa Perang Dunia I yang menempatkan Jerman sebagai tawanan perang tentara sekutu, sesungguhnya hanyalah sasaran-antara, karena sasaran utamanya adalah the last Islamic empire, yakni Turki. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa kini, Jerman tetap menjadi bagian dari negara sekutu barat yang kuat. Sementara, imperium Islam, dalam bentuknya yang formal telah hilang untuk selama-lamanya.

Kemunculan sekte-sekte garis keras dalam Islam, yang oleh dunia barat dianggap teroris, dapat dipahami dengan konsep kekuasaan. Konsep ini menyatakan bahwa siapapun yang berkuasa cenderung untuk memperluas kekuasaannya, atau paling tidak, mempertahankannya. Eksistensi Al Qaeda, dipahami oleh aliran pemikiran ini sebagai upaya untuk mempertahankan (merevitalisasi) kekuasaan yang pernah dimiliki oleh dunia Islam.

Aliran pemikiran ketiga, menempatkan posisi Al Qaeda sebagai bagian dari sekte-sekte –sebagaimana dipahami dalam aliran pemikiran kedua—yang dianggap “sesat”. Tudingan kesesatan ini, muncul karena dibenturkan dengan cita-cita luhur Islam yang ingin menempatkan dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam). Pertanyaan telak yang mendasari pemikiran ini adalah: bagaimana akan menjadi rahmah bila metode pencapaian tujuannya tidak rahmah. Meski demikian, para pendukung aliran pemikiran yang menempatkan Al Qaeda sebagai kelompok revivalis, dikarenakan metodologi gerakan Al Qaeda didukung oleh legalitas agama. Legalitas yang dimaksud adalah sebuah hadist yang menyatakan bahwa “bila engkau melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tangan (kekuatan); bila tidak mampu, maka rubahlah dengan lisanmu; bila juga tidak mampu, maka lakukanlah dengan hatimu, meski hal itu adalah selemah-lemahnya iman.

Pemikiran ketiga ini, juga didukung oleh beberapa pertanyaan logik. Misalnya, bagaimana Al Qaeda bisa menjadi superbody, pada saat berbagai keterbatasan membelenggunya. Superbody yang dimaksud adalah penguasaannya terhadap kekuatan ekonomi dan teknologi kemiliteran, sebuah ability yang pada saat ini hanya dimiliki oleh kekuatan barat. Pertanyaan berikutnya tentang keluasan network, dan “kenyamanan” melakukan aksi-aksi teror. Bagaimana bisa terkondisikan demikian, pada saat dunia kini penuh dengan jejaring keamanan yang relatif lebih kuat dibanding satu dasawarsa sebelumnya. Kenyataan ini, menyeret pada sebuah logika akan keterlibatan pihak ketiga sebagai “tim sukses” aksi-aksi Al Qaeda.

Dalam pandangan lain, metologi gerakan yang dilakukan Al Qaeda atau organisasi yang dituduh oleh barat sebagai teroris, merupakan pilihan strategi tersendiri. Hal itu diakibatkan karena kekuatan lawan yang di satu sisi dianggap jauh lebih besar, dan di sisi lain, resources yang dimiliki sangat terbatas. Secara substanstif, pilihan strategi ini merupakan pilihan paling aman, dalam kontelasi politik global yang tidak seimbang kini. Makanya, teroris sebagai sebuah gerakan tidak akan pernah surut, selama ketidakadilan global terus bergelanyut.

Dan bom yang belum lama terjadi di Inggris, menjadi bagian dari apa yang secara substantif, bisa dipotret dalam kajian ini. Wallahu ‘Alam.

Bangi, 22 Juli 2005
Ttd.
Robi Nurhadi
————————————————
Komplek Hentian Kajang 3 / 6-2B Kajang, Bangi, Selangor Darul Ehsan, Malaysia
HP +60173605816 Pasport No. AH 353511
No. Rek. 1218-0099536-52-1 Bank Bumiputra Commerce (BBC) Branch UKM Bangi
Jl. I Gusti Ngurah Rai 62 Jakarta Timur 13470
Telp. 021-92711085 HP +6281317563401
No. Rek 125-00-04325151-5 Bank Mandiri KCP Jakarta Kawasan Industri Pulogadung




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia