Fungsi Teritorial TNI Mendampingi Satu Dekade Reformasi

Rabu, 18 November 2009

Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan RI Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan, makna reformasi adalah perubahan dari suatu sistem yang tadinya otoritarian kepada demokratis, yaitu dalam perubahan sistem tersebut TNI diminta untuk memposisikan diri dalam suatu tatanan yang disebut dengan paradigma baru TNI. Dalam hal ini TNI harus menjada pengertian reformasi dibidang pertahanan negara maupun TNI, bahwa perubahan ini tidak diartikan sebagai suatu revolusi, namun merupakan suatu perubahan rasional secara bertahap dalam upaya menghilangkan yang buruk dan memperbaiki yang rusak. Artinya, dalam menjalankan reformasi, harus dilaksanakan secara gradual sistematis, tidak dengan melakukan perombakan secara total.

Dari sisi manfaat reformasi bagi TNI, harus dilihat dari sisi introspeksi dan antisipasi, dengan istilah lain “mawas diri dan waspada”. Berdasarkan itu dapat dilihat bahwa pengertian introspeksi diri yaitu dalam melaksanakan tugas tidak ada lagi pelaksanaan tugas yang berjalan secara otomatis, tetapi semua pelaksanaan tugas harus berdasarkan legalitas dan legitimasi sesuai dengan pengaturan konstitusi. TNI tidak dapat lagi berbuat semaunya.

Bagi TNI, era reformasi telah menyediakan lebih banyak waktu untuk membenahi dan menata diri serta menambah bobot intelektual bagi prajuritnya. Dan yang paling penting bahwa reformasi ini harus memberikan kontribusi dalam mengembangkan civil society dan demokratisasi, tanpa harus merubah jati diri TNI. Pemahaman yang keliru di masyarakat bahwa, apabila TNI tetap dalam suatu prinsip mempertahankan jati diri itu seolah-olah status quo.

Selain itu bagi TNI, masa depan telah menuntut TNI untuk meningkatkan profesionalisme demi meraih kepercayaan publik. Pada masa otoriterian dulu, kelemahan TNI tidak terlihat karena kita ditutupi. Namun diera civil society saat ini, kekurangan-kekurangan TNI sangat terlihat. Apabila seorang perwira tidak mempunyai kemampuan dan gagal megembangkan diri serta tidak memiliki daya saing, maka akan menjadi bahan tertawaan.

Menurut Sekjen Dephan, reformasi TNI itu sebaiknya tidak dibatasi, karena organisasi itu dinamis. Apabila reformasi dibatasi, maka ketika selesai batas tersebut semua orang akan tertidur. Jadi TNI tidak pernah mengatakan reformasi itu bertahap, tetapi reformasi itu gradual. Artinya tidak secara drastis, tidak revolusioner tetapi, seperti evolusi. Lebih baik dikatakan sebagai perkembangan profesionalisme miliiter, yang mengarah kepada bagaimana militer beradaptasi dengan perubahan dunia. Dan yang dilakukan oleh TNI adalah perubahan implementasi secara rasional yang dipandang lebih produktif.

Sekjen Dephan juga mengatakan bahwa dalam melakukan reformasi-militer, TNI harud patuh pada Undang-Undang yang berlaku, sesuai dengan Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Pertahanan. Kemudian implementasinya ada pula pada UU Peradilan Militer, yang saat ini sedang menunggu waktu untuk diratifikasi. TNI telah setuju untuk membawa prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum umum diadili di pengadilan umum. Hal itu menjelaskan bahwa TNI tidak pernah menolak untuk patuh pada hukum atau prinsip Hak Asasi Manusia.

Sementara itu mengenai civil society yang diharapkan TNI, Sekjen Dephan menjelaskan, sebelum era reformasi, TNI dan Pemerintah itu identik. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat kondisi konstitusi saat itu menuntut demikian. TNI melakukan dwi fungsi karena ada dasar hukumnya dan TNI terlibat dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari pemerintah. Maka menjadi keharusan bagi civil society (masyarakat madani) yang telah merubah keadaan itu. Pada saat itu pula TNI adalah alat menyelesaikan masalah nasional, tetapi sekarang hanya memberikan kontribusi dalam pengembangan civil society yang diwujudkan dengan mengabdikan tenaga dan pikiran kepada pengembangan profesionalisme sebagai alat pertahanan negara. TNI tidak lagi diidentikkan dengan pemerintah, karena keberadaan TNI telah diatur dalam Undang-Undang.

Kaitannya dengan supermasi sipil, Sekjen Dephan menegaskan bahwa adanya dikotomi antara sipil dan militer, dapat membuat terjebak kepada pemikiran-pemikiran sempit yang keluar dari koridor kebangsaan dan kenegarawanan. Seharusnya sudah tidak ada militerisme di Indonesia. TNI telah melawan militerisme sejak dalam pendidikan. Selain itu, sangat tidak tepat jika saat ini terus membicarakan mengenai supermasi sipil. Masyarakat sipil dan militer bekerja sama untuk membangun civil society. TNI adalah warga negara yang kebetulan bekerja sebagai profesi militer. Keduanya, masyarakat sipil dan mereka yang bekerja sebagai militer adalah sama sebagai warga negara Indonesia.

Ditegaskan Sekjen, diera globalisasi ini hanya akan membuang-buang waktu saja apabila terus berdebat mengenai dikotomi sipil-militer. Semua negar yang berpikir secara global tidak akan mempertimbangkan perdebatan mengenai masalah tersebut, karena masyarakat sipil dan militer sama-sama berkontribusi dalam pembangunan negara. Namun demikian Sekjen mengakui pada awalnya adanya pemisahan antara sipil dan militer, lebih dikarenakan sebagai proses pencarian format ideal, karena itu untuk saat ini sangat tidak tepat membicarakannya lagi.

Mengenai Komando teritorial, dijelaskan Sekjen, harus disadari bahwa fungsi teritorial bukan hanya menjadi tanggung jawab TNI, tetapi juga Pemerintah. Pada masa lalu TNI terlihat memonopoli fungsi teritorial sebagai bagian dari Pemerintahan. Sebagai sebuah organisasi, TNI melakukan pembinaan teritorial, tetapi hanya bagian kecil dari keseluruhan pembinaan teritorial pemerintah. Sebagai contoh Departemen Pekerjaan Umum turut menjalankan fungsi terotorialnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Departemen Pekerjaan Umum selalu mengadakan pemeliharaan terhadap semua aspek-aspek infrastruktur yang menyokong kepentingan pertahanan negara. Jadi pembinaan teritorial itu dilaksanakan oleh semua aparat negra pemerintah, untuk menjaga kelangsungan hidup negara terhadap berbagai kemungkinan gangguan keamanan.

Komando Terotorial TNI dalam bentuk penggelaran kekuatan TNI sebagai alat pertahanan negara. Karena itu, jika fungsi ini dihancurkan berarti TNI kehilangan gelar kekuatan. Kehadiran Komando Teritorial dibutuhkan sepanjang mereka tidak mengerahkan fungsi teritorial seperti yang dilakukan pada masa lalu. Apabila dianggap perlu, maka TNI dapat melakukan penggelaran operasi kemanusiaan atau untuk membantu pemerintah daerah.

Menyinggung keberadaan TNI Angkatan Laut kaitannya dengan Indonesia sebagai negara kepulauan Sekjen Dephan menjelaskan, TNI tidak mengenal sistem pertahanan matra, tetapi dikenal Tri Matra Terpadu, tidak ada salah satu angkatan yang dominan. Ketiga angkatan merupakan kesatuan guna mempertahankan negara dari ancaman dan bertugas memelihara integeritas teritorial. Doktrin pertahanan saat ini adalah mengkombinasikan antara pertahanan militer dan pertahanan nir militer.

Meskipun sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari perairan, hal itu tidak membuat kita memfokuskan kepada TNI Angkatan Laut. Namun demikian diakui Sekjen bahwa benar pemeliharaan TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara membutuhkan anggaran yang besar karena alutsista yang dimilikinya. Sebaliknya TNI Angkatan Darat yang sarat dengan jumlah personel juga membutuhkan alokasi anggaran yang sesuai.

Sumber : Humas Dephan




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia