Melacak Kapal Selam di Selat Lombok

Rabu, 18 November 2009

Melacak Kapal Selam di Selat Lombok
Oleh: Fadli Syamsudin

Konflik dan Potensi Ancaman dari Negara Tetangga
Dewasa ini intensitas gangguan yang datang dari negara tetangga dan mengancam kedaulatan bangsa Indonesia semakin meningkat. Pada akhir tahun 2004, pemerintah Australia berencana menerapkan sistem pertahanan ekspansif dengan memberlakukan Zona Informasi Maritim Australia (AMIZ) yang menjangkau 2/3 wilayah Indonesia. Menlu Hassan Wirajuda bereaksi keras dan menolak rencana tersebut, mengingat jangkauan radar Australia dapat memantau aktivitas L. Jawa dan sekitarnya, dimana pusat pemerintahan Indonesia berada. Sebagai langkah antisipasi, Menhan Juwono Sudarsono pada waktu itu dengan tegas mengatakan akan mengerahkan kekuatan laut nasional untuk menangkal segala usaha intervensi Australia di wilayah teritorial Indonesia (Kompas, 17/12/2004).

Indonesia dan Australia terdaftar sebagai negara yang menandatangani Konvensi Hukum Laut Internasional, UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea) PBB tahun 1982. Terdapat pasal kritis UNCLOS yang menjadi titik pangkal perbedaan interpretasi terhadap konsep pertahanan AMIZ tersebut, yaitu artikel 49 menyatakan dengan tegas status legal negara kepulauan (Indonesia) berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinen di bawah serta udara di atasnya.

Pemerintah Australia tentunya mempunyai argumentasi lain terhadap pasal UNCLOS, sehingga tetap serius akan menerapkan zona keamanan 1000 mil laut untuk identifikasi kapal yang masuk atau berada di wilayah perbatasan mereka. Hal itu terkait dengan kepentingan mengamankan perairan Australia bagian utara (berbatasan langsung dengan Indonesia via L. Timor dan Arafura) yang kaya ladang minyak, disamping tentunya mencegah menjadi pintu masuk teroris (Kompas, 17/12/2004).

Belum selesai dengan Australia, Indonesia kembali mendapat gangguan yang berpotensi menjadi konflik terbuka dari negara serumpun Malaysia di gugusan kaya ladang minyak Ambalat, Kalimantan Timur pada tahun 2005. Mereka ingin mengulang keberhasilan mengambil alih kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan. Dan memasuki tahun 2006 ini ada indikasi upaya serupa dengan klaim kawasan Gosong Niger (P. Gosong) di wilayah Kalimantan Barat, dimana dilaporkan tentara kerajaan Malaysia telah mengusir nelayan Indonesia dari wilayah itu (Kompas: 18/1/2006).

Mengingat semakin besarnya potensi ancaman yang ada, maka pembangunan pertahanan Indonesia, termasuk konsep dan strategi serta pengadaan Alutsista haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sistem pertahanan bawah laut hendaknya mendapat prioritas pertama, mengingat Indonesia sebagai negara maritim sangat rapuh terhadap ancaman musuh, karena terbatasnya armada kapal selam yang dimiliki TNI-AL. Usulan TNI-AL untuk pengadaan 12 kapal selam modern merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan tersebut.

Disamping pengadaan kapal selam untuk pertahanan, kita juga perlu memperkuat penguasaan teknologi pemantauan anti kapal selam menyusup wilayah Indonesia. Artikel ini memberikan solusi alternatif pemanfaatan teknologi penginderaan jauh Tomografi Akustik untuk memantau pergerakan kapal selam asing masuk wilayah Indonesia, terutama lewat selat utama pada Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI) di Selat Lombok, Makassar, Lifamatola, dan Ombai.

Teknologi Tomografi Akustik

Untuk tujuan penyusupan, kapal selam umumnya bergerak memanfaatkan “daerah kedap” transmisi gelombang suara (shadow zone). Daerah ini adalah zona aman dimana suhu dan salinitas laut pada lapisan tersebut memantulkan rambatan suara yang datang, sehingga kapal selam terhindar dari deteksi SONAR (SOund NAvigation and Ranging) pihak lawan.

Selain itu, kemajuan teknologi telah mampu membuat material kapal selam memiliki efek pantulan minimum dan sistem pertahanan elektronik yang dapat mengacaukan/merusak sistem sonar aktif pihak lawan (jamming). Oleh karena itu diperlukan upaya lain melacak kehadiran mereka menggunakan teknologi tomografi akustik.

Tomografi akustik untuk laut terbuka sudah berkembang maju dan digunakan untuk memantau fluktuasi suhu dan medan arus laut (Munk dkk., 1995). Metoda akustik mengukur kecepatan rambat suara dan medan arus dengan menggunakan perbedaan waktu tempuh sinyal akustik yang dikirimkan antar stasiun pengamatan pada suatu perairan. Perkembangan tomografi akustik pantai dewasa ini telah berhasil memetakan struktur melintang arus, suhu, dan proses fisik lainnya yang terjadi pada seluruh kolom perairan (Park dan Kaneko, 2000).

Penulis melakukan simulasi komputer rambatan gelombang suara antar stasiun akustik di P. Nusa Penida dan Lombok Barat untuk identifikasi lokasi shadow zone di Selat Lombok. Posisi transmitter diletakkan 20 m di P. Nusa Penida dan gelombang suara menjalar sepanjang kolom air laut menuju penerima (hydrophone/receiver) di Lombok Barat (lihat gambar 1).

Untuk Selat Lombok, energi transmisi gelombang suara yang hilang pada kisaran 50-60 dB, terjadi hampir merata di semua kolom air, kecuali pada km 8-10 dari P. Nusa Penida dengan kisaran 80-90 dB (warna biru gelap atau tanda lingkaran pada gambar 1) mencakup wilayah permukaan sampai kedalaman 60 m. Lokasi ini berpotensi sebagai shadow zone, sehingga merupakan tempat kondusif alur kapal selam masuk wilayah Indonesia. Dari hasil simulasi ini, dapat kita ketahui begitu mudahnya kapal selam asing masuk wilayah Indonesia, yaitu hanya dengan menyusup beberapa puluh meter saja di bawah permukaan.

Agar rambatan gelombang suara dapat menembus daerah tersebut, perlu ditambah sebuah stasiun akustik pada tempat lainnya di P. Bali. Penempatan 3 buah stasiun akustik merupakan syarat menimal untuk monitoring semua proses fisik, seperti kondisi arus, medan suhu, pasang surut, dlsb. dalam kolom perairan Selat Lombok (Syamsudin, 2003).

Dalam hal kapal selam melintas Selat Lombok, maka ulakan (wakes) akibat manuver kapal selam dapat dilacak pergerakannya. Hasil penelitian Spedding (1997) menunjukkan ulakan yang timbul akibat gerakan kapal selam mempunyai pola stabil berupa pergantian secara teratur jejak pusaran vertikal di bagian belakang ekor dan terjadi dalam durasi panjang. Proses alam internal wave (gelombang merambat pada lapisan antara beda densitas) yang stabil tidak dapat menghasilkan pola serupa seperti ulakan kapal selam, karena memiliki kecepatan fase gelombang jauh lebih kecil, berkisar 1 m/s, dibandingkan kecepatan minimum kapal selam 4 m/s.

Faktor internal wave harus mendapat perhatian, mengingat Indonesia terdiri dari banyak selat, morfologi pantai dan batimetri yang rumit membuat wilayah ini kaya dengan fenomena tersebut (Syamsudin dkk., 2004). Pada lokasi dimana kisaran internal wave dalam orde mendekati kecepatan minimum kapal selam, maka efek interferensi dari dua sumber ulakan mungkin saja terjadi, namun dapat diminimalisir dengan menerapkan transmitter berfrekuensi tinggi, agar efek koheren dapat ditekan dan sinyal ulakan kapal selam dapat dideteksi.

Artikel 20 UNCLOS dengan jelas mengharuskan kapal selam asing melakukan navigasi di permukaan dan menunjukkan bendera mereka, ketika memasuki wilayah teritorial Indonesia. Dengan memanfaatkan teknologi ini, kehadiran mereka dapat diketahui dan Indonesia dapat menerapkan sanksi internasional terhadap semua upaya yang mengancam kedaulatan NKRI.

Penulis: Peneliti P3-TISDA BPPT dan post doctoral fellow di the Netherlands Institute for Sea Research, Belanda. E-mail: fadli@webmail.bppt.go.id dan fadli@nioz.nl. 

Daftar Pustaka:

Munk W., P.F. Worcester, and C. Wunsch, 1995, Ocean Acoustic Tomography, New York: Cambridge Univ. Press.
Park J. H. and A. Kaneko, 2000, Assimilation of coastal acoustic tomography data into a barotropic ocean model, Geophysical Research Letters, vol. 27, 3373-3376.
Spedding, G. R., 1997, The evolution of initially turbulent bluff-body wakes at high internal Froude number, Journal of Fluid Mechanics, 337, 283-301.
Syamsudin F., 2003, Monitoring Indonesian throughflow variability by coastal acoustic tomography system in the Lombok Strait, Proceedings of IMFS workshop, 15-17 Desember 2003.
Syamsudin F., A. Kaneko, and D. B. Haidvogel, 2004, Numerical and observational estimates of Indian Ocean Kelvin wave intrusion into Lombok Strait, Geophysical Research Letters, L 24307.

 

 

Gambar 1. Simulasi energi transmisi gelombang suara yang hilang di Selat Lombok. Wilayah shadow zone merupakan lokasi yang aman bagi kapal selam agar tidak terdeteksi sonar. Satuan skala warna dalam dB.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia