Sejarah Singkat Ejaan Bahasa Indonesia

Selasa, 31 Juli 2012

Kalau kita melihat perkembangan bahasa Indonesia sejak dulu sampai sekarang, tidak terlepas dari perkembangan ejaannya. Kita ketahui bahwa beberapa  ratus tahun yang lalu bahasa Indonesia belum disebut bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu. Nama Indonesia itu baru datang kemudian. 

Kita masih ingat pada masa kerajaan Sriwijaya, Ada beberapa prasasti yang bertuliskan bahasa Melayu Kuno dengan memakai huruf Pallawa (India) yang banyak dipengaruhi bahasa Sanskerta, seperti  juga halnya bahasa Jawa Kuno. Jadi bahasa pada waktu itu belum menggunakan huruf Latin. Bahasa Melayu Kuno ini kemudian berkembang pada berbagai tempat di Indonesia, terutama pada masa Hindu dan masa awal kedatangan Islam (abad ke-13). Pedagang-pedagang Melayu yang berkekeliling di Indonesia memakai bahasa Melayu sebagai lingua franca , yakni bahasa komunikasi dalam perdagangan, pengajaran agama, serta hubungan antarnegara dalam bidang ekonomi dan politik. 

Lingua franca ini secara merata berkembang di kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan. Banyak pedagang asing yang berusaha untuk mengetahui bahasa Melayu untuk kepentingan mereka. Bahasa Melayu ini mengalami pula penulisannya dengan huruf Arab yang juga berkembang menjadi huruf Arab-Melayu. Banyak karya sastra dan buku agama yang ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Huruf ini juga dijadikan sebagai ejaan resmi bahasa Melayu sebelum mulai digunakannya huruf Latin atau huruf Romawi untuk penulisan bahasa Melayu, walaupun masih secara sangat terbatas. 

Ejaan latin untuk bahasa Melayu mulai ditulis oleh Pigafetta, selanjutnya oleh de Houtman, Casper Wiltens, Sebastianus Dancaert, dan Joannes Roman. Setelah tiga abad kemudian ejaan ini baru mendapat perhatian dengan ditetapkannya Ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901. 

Keinginan untuk menyempurnakan ejaan Van Ophuijsen terdengar dalam Kongres Bahasa Indonesia I, tahun 1938 di Solo, yang sembilan tahun kemudian terwujud dalam sebuah Putusan Menteri Pengadjaran Pendidikan dan Kebudajaan, 15 April 1947, tentang perubahan ejaan baru. Perubahan tersebut terlihat, antara lain, seperti di bawah ini. 

Van Ophuijsen 1901

Soewandi 1947

boekoe

ma’lum

’adil

mulai

masalah

tida’

pende’

buku

maklum

adil

mulai

masalah

tidak

pendek

Perubahan Ejaan bahasa Indonesia ini berlaku sejak ditetapkan pada tahun 1947. Waktu perubahan ejaan itu ditetapkan rakyat Indonesia sedang berjuang menentang kembalinya penjajahan Belanda. Penggunaan Ejaan 1947 ini yang lebih dikenal sebagai Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik, sebenarnya memancing reaksi yang muncul setelah pemulihan kedaulatan (1949). Reaksi ini kemudian melahirkan ide untuk mengadakan perubahan ejaan lagi dengan berbagai pertimbangan mengenai sejumlah kekurangan. 

Gagasan mengenai perubahan ejaan itu muncul dengan nyata dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Waktu itu Menteri Pendidikan dan Kebudajaan adalah Mr. Muh. Yamin. Dalam kongres itu dihasilkan keputusan mengenai ejaan sebagai berikut :

1.         Ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf.

2.         Penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh satu badan yang kompeten.

3.         Ejaan itu hendaknya praktis tetapi ilmiah. 

Keputusan kongres ini kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah, yang menghasilkan konsep sistem ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan. Namun Ejaan ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa huruf baru yang tidak praktis,yang dapat memengaruhi perkembangan ejaan bahasa Indonesia. 

Terilhami oleh Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954), diadakan pula kongres bahasa Indonesia di Singapura (1956) yang menghasilkan suatu resolusi untuk menyatukan ejaan bahasa Melayu di Semenanjung Melayu dengan ejaan bahasa Indonesia di Indonesia. Perkembangan selanjutnya dihasilkan suatu konsep ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia). Namun, rencana untuk meresmikan ejaan ini pada tahun 1962 mengalami kegagalan karena adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun kemudian.

Pada tahun 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono dan mengusulkan konsep baru sebagai ganti konsep Melindo.

Pada tahun 1972, setelah melalui  beberapa kali seminar, akhirnya konsep LBK  menjadi konsep bersama Indonesia-Malaysia yang seterusnya menjadi Sistem Ejaan Baru yang disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Kalau kita beranalogi dengan Ejaan Van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi, EYD dapat disebut Ejaan Mashuri, karena pada waktu itu Mashuri sebagai Mnteri Kebudayaan  memperjuangkan EYD sampai diresmikan oleh presiden.

Ada empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu :

  1. 1.Ejaan Van Ophuijsen (1901)
  2. 2.Ejaan Soewandi (1947)
  3. 3.Ejaan Yang Disempurnakan (1972)
  4. 4.Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975) 

Sistem ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh pemerintah

adalah :

  1. 1.Ejaan Pembaharuan (1957)
  2. 2.Ejaan Melindo (1959)
  3. 3.Ejaan LBK (1966)

Kontributor: Subpok Indonesia/Fachry




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia