Bela Negara dengan Memahami Sejarah

Selasa, 5 April 2016

Sentimen Diskriminatif Muncul akibat Tak Paham Sejarah

4 April 2016

JAKARTA, KOMPAS — Pengenalan sejarah akan meningkatkan rasa cinta tanah air. Karena itu, Kementerian Pertahanan menandatangani nota kesepahaman dengan Komunitas Historia Indonesia untuk membuat masyarakat semakin tertarik mempelajari dan memahami sejarah Indonesia.

“Selama ini, masyarakat mengira bela negara hanya berupa latihan militer. Padahal, konsep utama bela negara terletak pada aspek ideologi dan sosial,” tutur Ruly Rahadian, pakar bela negara dari Kementerian Pertahanan, ketika ditemui pada perayaan ulang tahun ke-13 Komunitas Historia Indonesia (KHI), Sabtu (2/4), di Jakarta. Acara ini bertema “Belajar dari Sejarah, Semangat Membela Negara”.

Menurut Ruly, permasalahan terbesar di Indonesia ialah banyak anggota masyarakat yang buta terhadap sejarah Nusantara. Akibatnya, muncul sentimen- sentimen diskriminatif terhadap suku bangsa tertentu. Padahal, perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia dilakukan lewat kontribusi berbagai suku bangsa, agama, dan ras di Indonesia.

Ruly menjelaskan, apabila masyarakat memiliki fondasi cinta tanah air berupa pemahaman sejarah yang memadai, mereka akan mampu memahami identitas bangsa dengan sangat baik. Dengan demikian, pemikiran mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh ideologi asing karena mereka sudah mengerti jati diri dan kebutuhan bangsa. Pemahaman terhadap jati diri bangsa itu juga tidak akan mudah pupus meski mereka belajar atau bekerja di luar negeri.

Untuk mendorong pemahaman masyarakat terhadap sejarah bangsa, pada 12 Februari 2016 ditandatangani nota kesepahaman antara Kemhan dan KHI. Hal ini dilakukan karena KHI dinilai merupakan komunitas yang berhasil memopulerkan kembali pentingnya mempelajari sejarah.

Mereka juga dianggap memiliki program-program yang kaya akan informasi dan mudah diakses oleh masyarakat. “Selain dengan KHI, sepanjang 2016, Kemhan juga memiliki 90 program sosialisasi ke berbagai komunitas tentang bela negara melalui pembentukan karakter,” ucap Ruly.

Tidak tendensius

Sejarawan Universitas Indonesia yang juga pembina KHI, Rushdy Hoesein, menjelaskan, sejarah tidak bersifat absolut. Dengan kata lain, sejarah akan terus berubah sepanjang ditemukannya bukti-bukti terbaru.

“Dalam konteks bela negara, sejarah yang dipahami tidak tendensius berdasarkan versi satu pihak saja, tetapi sejarah Indonesia apa adanya, sesuai dengan bukti-bukti yang ada,” tutur Rushdy.

Ia juga menekankan pentingnya bersikap kritis terhadap sejarah. Karena itu, masyarakat bersama sejarawan hendaknya terus menguji keabsahan sejarah. Jika hal tersebut dilakukan terus-menerus, masyarakat akan semakin paham terhadap perjalanan pembangunan bangsa.

Jelajah Sejarah Indonesia

Salah satu kegiatan yang diluncurkan oleh KHI adalah “Jelajah Sejarah Indonesia”. Kegiatan ini bisa diakses melalui laman heritagetrails.co.id yang menyediakan daftar berbagai acara beserta tiketnya. Masyarakat juga bisa meminta panitia untuk menyelenggarakan kegiatan bertema wisata sejarah khusus untuk kelompok tertentu.

Pendiri KHI, Asep Kambali, mengatakan bahwa belajar sejarah sama seperti membaca novel atau menonton film. “Kisah-kisah sejarah sangat menarik. Namun, selama ini, pengemasannya memang tidak menarik,” ujarnya. (DNE)




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia