NKRI dan Pancasila Sebagai Harga Mati

Minggu, 24 April 2016

JAKARTA – Gerakan Pemuda (GP) Ansor memperingati hari lahirnya kemarin. Di usia ke-82, organisasi pemuda Islam terbesar tersebut ingin memperteguh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai dasar negara. 

Di tengah terpaan teknologi yang semakin besar, kemajuan zaman, dan ancaman intoleransi umat beragama, GP Ansor ingin agar nilai-nilai persatuan dan kesatuan terus ditingkatkan dan dipertahankan. GP Ansor merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga bangsa Indonesia dari kepentingan- kepentingan sekelompok orang yang tidak ingin melihat persatuan dan kedamaian di bumi Nusantara. 

”Kita sampaikan bahwa NKRI final yang kita sepakati, Pancasila itu ideologi final yang kita setujui,” ujar Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas saat membuka peringatan HUT ke-82 GP Ansor serta pelantikan pengurus periode 2015-2020 di Balai Kartini Jakartatadimalam. 

Turut hadir Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, Menpora Imam Nahrawi, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, dan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid. 

GP Ansor, kata Yaqut, memiliki tanggung jawab yang semakin besar. Ancaman juga bukan hanya menyasar kepada kader GP Ansor maupun NU, tetapi juga bangsa. ”Banyak tragedi kemanusiaan di Timur Tengah dan kini sudah berpindah ke Indonesia. Kenyataan ini menimbulkan reaksi balik, Islam diidentikkan dengan kekerasan, pembunuhan,” katanya. 

Prinsip organisasi yang dipimpinnya adalah menanamkan Pancasila dan NKRI sebagai harga mati. GP Ansor juga siap melawan segala bentuk upaya perpecahan yang dilakukan sekelompok orang dengan mengedepankan intoleransi. Kader GP Ansor akan mengambil posisi di baris terdepan untuk menghadang kelompok-kelompok tersebut. 

Sementara itu, Ketua PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sudah dicontohkan para kiai terdahulu. Salah satunya bagaimana mereka ketika membangun pesantren lebih memilih mengenalkan nama daerahnya ketimbang nama pesantren itu sendiri. ”Pesantren namanya tidak terkenal tidak apa-apa, yang penting nama desanya,” katanya. 

Menurut dia, dengan cara itu secara tidak langsung para kiai mencoba mengajak masyarakat untuk juga merasa memiliki pesantren tersebut dan ada ikatan batin dengannya. ”Supaya masyarakat sekitar merasa memiliki daerahnya, ikut bangga dengan pesantrennya. Itu bukti bahwa para kiai mencintai Tanah Air,” tuturnya. 

Said menambahkan, itulah pentingnya memahami konteks Islam Nusantara yang melebur dengan nasionalisme yang islami. Menurut dia, kekayaan budaya Islam Nusantara bisa merekatkan kesatuan bangsa. ”Budaya Nusantara yang tidak bertentangan syariat Islam, maka tentu itu harus didukung,” urai dia.

Koran Sindo. 




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia