INDONESIA HARUS PROAKTIF TUNTASKAN BATAS LAUT

Senin, 25 Juni 2012

Kupang,  Pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum berpendapat Indonesia harus proaktif menuntaskan batas wilayah laut dengan Australia dan Timor Leste.

“Bagi saya, ini sangat mendesak guna menghindari tindakan penangkapan terhadap nelayan Indonesia oleh patroli keamanan laut kedua negara atas tuduhan memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal untuk menangkap ikan dan biota laut lainnya,” katanya di Kupang, Senin.

Ia mengemukakan pandangannya tersebut terkait belum tuntasnya batas wilayah laut antara RI-Australia-Timor Leste yang sering menjadi kendala bagi nelayan tradisional Indonesia, khususnya nelayan asal NTT dan Sulawesi Selatan yang mencari ikan dan biota laut lainnya di Laut Timor.

Dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu menambahkan Kementerian Luar Negeri Indonesia harus proaktif untuk mulai melakukan pendekatan hingga membuat perjanjian seperti yang pernah dilakukan terhadap batas laut teritorial dengan Malaysia 1970, Singapura 1973 dan terakhir pada 2009.

“Sikap proaktif Indonesia, tidak harus terganggu atau tertunda karena masih harus menunggu penyelesaian batas wilayah darat dengan Timor Leste, karena aktivitas di laut tidak mengenal syarat itu karena tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi,” katanya menegaskan.

Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) VII/Kupang Laksma (TNI) Karma Suta, dalam sebuah “talk show” di TVRI Kupang mengatakan, penentuan batas wilayah laut antara Indoensia dengan Timor Leste, masih menunggu finalisasi batas wilayah darat yang sedang dalam tahap perundingan.

“TNI AL tidak mungkin mendahulukan penetapan batas wilayah laut, tanpa terlebih dahulu menetapkan batas wilayah darat yang selalu menjadi rujukan penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),” katanya.Menurut jenderal AL berbintang satu itu, sejak 2000 kedua negara masih memfokuskan pembicaraan pada pemetaan batas darat dan belum membahas batas laut.”Karena itu, Timor Leste jangan bersikap gegabah. Mari kita bicarakan masalah perbatasan dengan baik supaya hubungan kedua negara ini tetap terjalin dengan baik,” katanya.

Wilayah perbatasan laut ini berada di selatan Pulau Timor, sehingga harus diselesaikan secara arif mengingat kawasan tersebut sangat kaya dengan minyak dan gas bumi, seperti di sumur Laminaria dan Bayu-Undan yang masih berada di dalam perairan Indonesia.

Danlantamal mengatakan untuk menyepakati batas akhir wilayah batas darat, butuh waktu yang cukup lama, namun dia berharap dalam waktu yang tidak lama lagi, akan ada kesepatan batas darat, untuk selanjutnya masuk pada batas wilayah laut.

Menurut Wetan Songa, sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dengan panjang garis pantai 81.900 km2, dan jumlah pulau sebanyak 17.508 serta luas wilayah perairan sebesar 5,8 juta km2, diperlukan keseriusan untuk segera memperjelas batas dan titik wilayah teritorial.

“Ini masalah serius dan sangat penting selain untuk melindungi para nelayan dari penangkapan polisi patroli laut negera tetangga , kepastian batas laut antarnegara itu juga untuk menghindari klaim dari negara lain,” katanya menegaskan.Secara umum, status perbatasan suatu negara didasari atas klaim yang terdiri dari beberapa jenis, di antaranya adalah perjanjiaan yang dibuat oleh negara yang memiliki perbatasan yang bersinggungan.

Klaim ini, kata Wetan Songa, memiliki status hukum yang kuat dalam mendefinisikan status perbatasan.Selain perjanjian, terdapat beberapa klaim terhadap perbatasan yakni geografi, ekonomi, budaya, ideologi, kontrol efektif terhadap wilaya dan “utis posidentis”.”Klaim perbatasan yang dimiliki Indonesia adalah klaim “utis posidentis” yang berarti klaim terhadap wilayah negara berdasarkan doktrin bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah administratif sebagaimana yang dimiliki oleh negara penjajahnya,” ujarnya.

Dalam hal ini, katanya menambahkan, luas wilayah Indonesia sesuai dengan luas wilayah administratif Hindia Belanda.Namun, permasalahnnya kemudian, klaim ini memiliki kedudukan hukum yang kurang kuat dibandingkan klaim wilayah berdasarkan perjanjian Internasional, termasuk klaim lainnya seperti kontrol efektif terhadap wilayah, demikian Wilhelmus Wetan Songa.

Sumber :   Antara




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia