TRANSLATE

Presiden Terbitkan PP Penanganan Konflik Sosial

Jumat, 13 Februari 2015

Presiden Terbitkan PP Penanganan Konflik Sosial

JAKARTA, KOMPAS.com- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2015 terkait aturan penanganan konflik sosial. Dalam laman Sekretariat Kabinet yang diunggah Kamis, disebutkan PP itu merupakan peraturan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

PP di antaranya mengatur keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI untuk penghentian konflik dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh pemerintah daerah atau pemerintah.

Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan untuk menghentikan kekerasan fisik, melaksanakan pembatasan dan penutupan kawasan konflik untuk sementara waktu.

Selain itu, melaksanakan upaya pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu, melaksanakan upaya pelarangan orang untuk memasuki kawasan konflik atau keluar dari kawasan konflik untuk sementara waktu.

Penyelamatan, evakuasi, dan indentifikasi korban konflik, perlindungan terhadap kelompok rentan dan penyelamatan jiwa raga dan harta benda korban konflik.

“Pelaksanaan bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dikoordinasikan oleh Polri,” bunyi Pasal 41 PP tersebut.

Ditegaskan dalam PP ini, satuan TNI yang sedang menjalankan tugas bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dalam status keadaan konflik tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip hak asasi manusia, dan tidak dapat diberikan tugas lain sampai dengan berakhirnya masa tugas.

Mengenai penetapan status keadaan konflik, PP ini menegaskan, dilakukan apabila konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan. Indikatornya adalah apabila eskalasi konflik semakin meningkat dan risiko semakin meluas.

“Bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dilakukan atas permintaan pemerintah daerah kepada Presiden,” bunyi Pasal 44 dan Pasal 45 Ayat (1) PP No. 2/2015 ini.

Tugas bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI itu akan berakhir apabila telah dilakukan pencabutan status keadaan konflik, dan berakhirnya jangka waktu status keadaan konflik.

Adapun pemulihan pascakonflik menjadi kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur sesuai dengan kewenangannya.

Pemulihan pascakonflik sebagaimana dimaksud meliputi rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Sementara sumber pendanaan penanganan konflik berasal dari APBN, APBD dan/atau masyarakat.

.
Pemerintah Terbitkan Aturan Penanganan Konflik, TNI Dilibatkan

maiwanews – Dalam rangka melindungi dan memberikan rasa aman masyarakat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Fabruari 2015 menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

PP ini mengatur ketentuan mengenai pencegahan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan dan kekuatan TNI, pemulihan pascakonflik, peran serta masyarakat, pendanaan penanganan konflik, dan monitoring dan evaluasi.

Dalam PP yang berisi 99 pasal itu disebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pencegahan konflik dengan beberapa langkah yakni melihara kondisi damai dalam masyarakat, pengembangan sistem penyelesaian secara damai, meredam potensi konflik dan membangun sistem peringatan dini.

“Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan konflik, mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui musyawarah untuk mufakat, dan dapat melibatkan peran serta masyarakat,” bunyi Pasal 7 Ayat (1,2) PP tersebut seperti dilansir situs Setkab, Kamis (12/2/2015).

Lebih lanjut disebutkan, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban dimaksudkan adalah untuk meminimalisir jumlah korban, memberikan rasa aman, menghilangkan trauma dan memberikan layanan yang dibutuhkan bagi korban.

Tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah itu di antaranya meliputi: a. Penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban konflik; b. Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik; c. Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; d. Perlindungan terhadap kelompok rentan; e. Sterilisasi tempat yang rawan konflik; f. Penegakan hukum; dan i. Penyelamatan harta benda korban.

Peraturan Pemerintah ini juga menegaskan, upaya sterilisasi tempat yang rawan konflik dan penyelamatan sarana dan prasarana vital agar tetap dapat berfungsi memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

“Dalam mengamankan sarana dan prasarana vital sebagaimana dimaksud, Polri dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia (TNI),” bunyi Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 ini.

Penggunaan dan Pengerahan Kekuatan TNI

PP ini menegaskan, bahwa bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI untuk penghentian konflik, dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat.

Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan diantaranya untuk, menghentikan kekerasan fisik, melaksanakan pembatasan dan penutupan kawasan konflik untuk sementara waktu, melaksanakan upaya pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu, melaksanakan upaya pelarangan orang untuk memasuki kawasan konflik atau keluar dari kawasan konflik untuk sementara waktu, penyelamatan termasuk evakuasi dan indentifikasi korban konflik, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan penyelamatan jiwa raga dan harta benda korban konflik.

Dalam Pasal 41 PP disebutkan, pelaksanaan bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dikoordinasikan oleh Polri.

Satuan TNI yang sedang menjalankan tugas bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dalam status keadaan konflik, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip hak asasi manusia dan tidak dapat diberikan tugas lain sampai dengan berakhirnya masa tugas.

Mengenai penetapan status keadaan konflik dilakukan apabila konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan. Indikatornya adalah apabila eskalasi konflik semakin meningkat dan risiko semakin meluas.

Pasal 44 dan Pasal 45 Ayat (1) berbunyi, bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dilakukan atas permintaan pemerintah daerah kepada Presiden.

Tugas bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI itu akan berakhir apabila telah dilakukan pencabutan status keadaan konflik atau berakhirnya jangka waktu status keadaan konflik.

Adapun pemulihan pascakonflik menjadi kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur sesuai dengan kewenangannya.

Pemulihan pascakonflik sebagaimana dimaksud meliputi rekonsiliasi, rehabilitasi, rekonstruksi. Sementara sumber pendanaan penanganan konflik berasal dari APBN, APBD; dan/atau Masyarakat.

Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 itu menyebutkan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan melakukan penatausahaan atas penyaluran dana pemulihan pascakonflik, Gubernur dan/atau Bupati/Walikota melakukan penatausahaan atas penerimaan dan penggunaan dana pemulihan pascakonflik.

.
Jokowi Instruksikan Tangkap Peneror KPK-Polri

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo menyatakan sudah berkoordinasi dengan Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait ancaman yang diterima pegawai KPK. Jokowi menginstruksikan agar kepolisian bisa menangkap pelaku teror itu.

“Polri sudah saya undang. Ya, kalau memang betul ada yang meneror, ya tangkap,” kata Jokowi seusai acara Jakarta Food Security Summit 2015 di Jakarta Convention Center, Kamis (12/2/2015).

Jokowi mengaku sudah bertemu pimpinan KPK dua hari lalu. Selain itu, Jokowi juga sudah berkoordinasi dengan pucuk pimpinan Polri. Dalam pertemuan dengan kepolisian, kata Jokowi, pihak kepolisian ternyata juga menerima ancaman serupa.

“Saya tanyakan yang meneror siapa. Ini yang sulit dilacak. Kalau meneror jelas, ya tangkap saja,” ucap dia.

Kekisruhan yang terjadi setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi makin berkembang ke arah yang mengkhawatirkan.

Jika sebelumnya pegawai KPK dan keluarganya mendapat teror berupa telepon atau pesan gelap, kini mereka mendapat ancaman pembunuhan.

“Menurut kami, eskalasi ancamannya sangat serius karena menyangkut nyawa. Ancaman seperti ini memang sudah sering terjadi. Namun, kini harus diberi konteks ada sesuatu yang sistematis sedang terjadi,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

KPK telah melaporkan teror ini kepada Presiden. “Beliau menerima informasi ini serta berjanji akan mengambil langkah-langkah yang lebih tegas untuk meminimalkan ancaman dan potensi ancaman yang akan datang,” ujar Bambang.

Wakil Ketua Tim Independen Jimly Asshiddiqie mengaku prihatin dengan teror yang diterima sejumlah penyidik aktif KPK. Bahkan, kata Jimly, dua penyidik aktif KPK batal bersaksi dalam sidang praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan karena mendapatkan ancaman.

“Kami mendapat informasi juga bahwa mengapa dua orang yang disebut-sebut penyidik aktif yang seharusnya menjadi saksi di praperadilan tak hadir,” ujar Jimly di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/2/2015).

.
Soal Teror ke KPK, Ini Instruksi Jokowi

TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparat Kepolisian untuk menangkap pelaku yang meneror penyidik dan sebagian pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menurut dia, aksi teror tersebut sangat meresahkan jalannya kegiatan dan aktivitas penegakkan hukum di komisi antirasuah.

“Saya sudah bertemu dengan seluruh pimpinan KPK, juga sudah bertemu dengan Polri soal itu,” kata Jokowi di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 12 Februari 2015.

Polri, kata Jokowi, juga sudah menyampaikan hal soal teror di lingkungan KPK. Jokowi mengatakan pelaku teror terhadap KPK itu sulit dilacak.

“Yang meneror siapa? Ini yang sulit dilacak,” ujarnya. “Kalau yang meneror jelas, ya tangkap saja. Polri sudah saya undang, kalau betul ada yang teror tangkap sudah.”

Berbagai teror dialami sejumlah penyidik dan karyawan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak lembaga antirasuah ini menangani kasus calon Kepala Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Teror dialami oleh para penyidik dan beberapa pegawai KPK.

Bentuknya antara lain via pesan pendek, dihububngi per telepon, hingga dibuntuti saat pulang kerja. Salah satu pesan berbunyi ancaman pembunuhan.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia