TRANSLATE

Moeldoko: Tes Keperawanan di TNI Itu Hukumnya Wajib

Selasa, 19 Mei 2015

Moeldoko: Tes Keperawanan di TNI Itu Hukumnya Wajib

MAGELANG, KOMPAS.com — Tes keperawanan dinilai menjadi poin penting dalam uji moralitas bagi calon prajurit perempuan TNI, di samping tiga hal penting lainnya yang wajib dimiliki oleh calon prajurit TNI, yakni mental, akademik, dan fisik yang baik.

Hal tersebut dikatakan Panglima TNI Jenderal Moeldoko seusai menghadiri reuni Akabri angkatan 1981 di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Senin (18/5/2015), menanggapi pro dan kontra masyarakat terkait kebijakan tes keperawanan bagi perempuan yang hendak menjadi prajurit TNI.

“Di kami ada empat poin yang wajib dimiliki TNI, yaitu mental, moral, akademik, dan fisik yang baik. Tes keperawanan itu sendiri masuk dalam poin moral yang baik,” ujar Moeldoko.

Mantan KSAD TNI itu beranggapan bahwa tidak ada permasalahan yang perlu dikhawatirkan dalam tes tersebut. Ia mengatakan, tes keperawanan adalah wajib dan sudah berjalan sejak lama di institusi TNI. Pihaknya pun tetap kukuh berpegang pada kebijakan tersebut, meski mendapat tekanan dari berbagai pihak yang menganggap bahwa tes keperawanan sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan tidak berkaitan dengan tugas meningkatkan keamanan nasional.

“Sebenarnya, apa masalahnya (tes keperawanan)? Orang mau berbuat baik kok enggak boleh. Jadi, tes keperawanan di TNI itu hukumnya wajib, dan saya enggak mau dipengaruhi oleh siapa pun,” katanya.

Pihaknya meminta semua pihak agar tidak membanding-bandingkan tes keperawanan di institusi TNI dengan sistem perekrutan prajurit militer Amerika. Menurut dia, kedua negara ini sudah jelas punya perbedaan budaya yang cukup mencolok.

“Jangan bandingkan tes ini dengan Amerika. Moral adalah poin yang sifatnya mutlak dimiliki oleh calon prajurit TNI,” kata petinggi TNI asal Kediri, Jawa Timur, itu.

Namun, Moeldoko mengatakan bahwa tes keperawanan tidak menjadi nilai mutlak dalam penentuan kelulusan tes kesehatan pada penerimaan prajurit TNI.

“Bukan berarti ketika dicek tidak perawan itu tidak lulus tes karena ketidakperawanan seseorang bisa disebabkan berbagai hal. Misalnya, bisa saja dia pernah kecelakaan, jatuh. Kalau seperti itu, tentunya tidak berpengaruh terhadap hasil tesnya,” ujar Moeldoko.

Moeldoko menambahkan, pihaknya memang berencana menambah perwira TNI perempuan. Sebab, menurut dia, hasil evaluasi di insitusi pendidikan TNI menunjukkan bahwa para taruni sudah menunjukkan predikat positif. Namun, Moeldoko mengaku masih akan menggelar evaluasi ketika mereka sudah terjun di satuan-satuan TNI.

“Saya lihat memang ada kecenderungan penambahan (anggota) TNI perempuan. Kalau di dalam pendidikan sekarang, (taruni) sudah sangat bagus. Namun, kami harus melihat dan evaluasi, nanti di dalam penugasan seperti apa,” ujarnya.

.
Tes Keperawanan Prajurit Wanita TNI, Diskriminasi demi Moral?

Jakarta, CNN Indonesia — Kalangan pegiat hak asasi manusia satu kata soal tes keperawanan prajurit wanita Tentara Nasional Indonesia: diskriminatif. Mulai Human Rights Watch yang berbasis di New York hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta menentang tes untuk calon tentara perempuan ini.

Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga kepada CNN Indonesia, Sabtu (16/5), mengatakan TNI seharusnya menghormati privasi yang dimiliki kaum perempuan. Ia beranggapan tak ada alasan kuat untuk menerapkan tes itu. Apalagi laporan World Health Organization tahun 2014 menyatakan tes keperawanan tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Namun Panglima TNI Jenderal Moeldoko tak ambil pusing dengan desakan Human Rights Watch. “Tes itu salah satu syarat masuk TNI. Bagian dari tes moral. Apa masalahnya? Kalau untuk kebaikan kenapa harus dikritik?” kata dia.

Selain tes moral –yang bagi calon prajurit wanita melibatkan keperawanan, ada dua hal lagi yang menjadi patokan TNI dalam menyeleksi calon anggotanya, yakni akademik dan fisik.

Komnas HAM sama sekali tak setuju dengan ucapan Moeldoko ini. “Apa kaitannya moral dengan keperawanan? Apakah seorang yang tidak perawan karena terluka akibat olahraga atau diperkosa, moralnya jelek? TNI bisa menggunakan rekam jejak dan banyak tes lain tanpa harus menggunakan tes keperawanan,” kata Sandra.

Menurutnya, tes keperawanan juga melanggar hak asasi manusia karena setiap orang berhak mengembangkan diri, termasuk dengan masuk ke TNI.

Bila calon prajurit wanita perempuan menjalani tes keperawanan, maka seharusnya calon tentara pria pun demikian. “Nah, tapi bagaimana menilai seorang lelaki perjaka? Diskriminatif kan?” ujar Sandra

Pada akhirnya Komnas HAM berpendapat tes itu tidak relevan dan tak menjadi jaminan terkait moral seorang tentara.

.
Hujan Interupsi Paripurna DPR: Dari Tes Keperawanan TNI Hingga Rohingya

Jakarta – Paripurna pembukaan masa sidang DPR tahun sidang 2014-2015 hujan interupsi. Anggota DPR ramai-ramai interupsi mulai dari soal salah baca nama fraksi hingga tes keperawanan TNI.

Awal interupsi ketika salah seorang anggota Fraksi NasDem yang protes karena Agus Hermanto membacakan presensi fraksi dengan nama Nasional Demokrat.

“Pimpinan, tolong didengarkan. Kami bukan Nasional Demokrat, tapi Fraksi NasDem. Tolong diperhatikan,” kata anggota Fraksi NasDem di ruang sidang paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/5/2015).

Mendengar interupsi itu, Agus langsung meralat dan kemudian membacakan presensi Fraksi NasDem secara benar.

Selesai sesi lantunan lagu Indonesia Raya, giliran anggota Fraksi PDIP dari NTT Honing Sanny. Ia ingin menyampaikan suara masyarakat di daerah pemilihannya terkait tes keperawanan masuk TNI.

“Ada suara keluhan dari masyarakat di dapil saya, NTT. Banyak anak SMA yang bertanya soal tes keperawanan masuk TNI. Mohon pimpinan mendengarkan aspirasi masyarakat,” ujar Honing.

Mendengar Honing bisa melontarkan interupsi, anggota dari fraksi lain meminta bisa diberikan kesempatan. Namun, Agus Hermanto langsung buru-buru memotong agar interupsi dilanjutkan setelah pidato Ketua DPR Setya Novanto.

“Tolong nanti anggota dewan dilanjutkan setelah paripurna. Kami pimpinan soalnya ada rapat konsultasi dengan pimpinan. Apakah setuju semua?,” sebut Agus sambil bertanya.

Beberapa anggota dari fraksi lain pun langsung menggerutu.

“Sudah batalin aja rapat konsultasinya, pimpinan,” tutur salah seorang anggota fraksi dari sebelah kanan.

Tidak lama berselang, anggota fraksi dari PAN, Teguh Juwarno langsung menginterupsi terkait etnis Rohingya. Ia meminta kepada pimpinan agar DPR bisa mengambil sikap tegas soal pengungsi Rohingya.

“Etnis Rohingya ini diskriminasi sistematis. Mereka ada di ASEAN. Fraksi PAN mendorong DPR agar mengambil inisiatif tegas, meminta pemerintah diplomasi agar masalah Rohingya diselesaikan dalam konteks Asean,” sebutnya.

Hal ini memantik anggota fraksi PAN lain, Dessy Ratnasari untuk interupsi. Begitupun anggota dari fraksi lain yang juga ingin terpancing untuk melakukan interupsi.

“Sebentar, sebentar, kami ingin agar Ketua DPR melakukan pidato sebentar. Tolong dengarkan,” kata Agus Hermanto.

“Apakah semua setuju,” tanya Agus.

“Setuju,” ujar sebagian anggota DPR.




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia