TRANSLATE

Garap Film dari Kemenhan, Hanung Bramantyo Mendapat Amanah

Selasa, 2 Mei 2017

BANDUNG, KOMPAS.com – Sutradara Hanung Bramantyo sempat terkejut ketika Kementerian Pertahanan (Kemenhan) hendak membuat film “Seteru”.

Alasannya sederhana, karena militer Indonesia jarang berbicara kebudayaan, khususnya film.

Berbeda halnya dengan Amerika. Di sana film adalah senjata.

Namun kini negara memperlihatkan keterlibatannya dalam perfilman Indonesia. Kementerian Pertahanan membiayai produksi film “Seteru”.

“Ini positif. Saya merasa mendapat amanah. Sekarang kita berbicara (Seteru) tentang kebinekaan. Selanjutnya bisa tentang agama. Atau seluruh Indonesia harus sudah disusupi ketahanan nasional,” ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (29/4/2017).

Sebenarnya, sambung Hanung, negara sangat berperan dalam perfilman Indonesia pada masa Orde Baru. Presiden Soehartomengajak sutradara-sutradara ternama untuk membuat film.

Sayangnya itu tidak langgeng karena film yang dibuat berisi doktrin dan bersifat propaganda Orde Baru. Pada masa itu, melalui Departemen Penerangan, negara memegang kendali film.

Lalu masuklah ke masa reformasi dan negara melepas keterlibatannya di perfilman Indonesia.

“Sebetulnya bukan itu yang diharapkan. Negara harus tetap terlibat dalam membangun infrastruktur perfilman,” ungkap pria kelahiranYogyakarta, 1 Oktober 1975 ini menjelaskan.

Persoalannya, jika melihat film yang masuk Indonesia, sudah mencuci otak generasi muda Indonesia.

Generasi muda lupa siapa pahlawan mereka dan apa arti nasionalisme. Mereka pun mengunggulkan produk luar.

“Itu artinya, dari sisi kebudayaan bisa dikatakan sudah tergerus,” tuturnya.

.

Hanung Bramantyo Mendapat Amanah Garap Film dari Kemenhan

BANDUNG, – Sutradara Hanung Bramantyo pernah terperanjat saat Kementerian Pertahanan (Kemenhan) akan bikin film “Seteru”.

Argumennya simpel, karna militer Indonesia tidak sering bicara kebudayaan, terutama film.

Tidak sama perihal dengan Amerika. Disana film yaitu senjata.

Tetapi saat ini negara memerlihatkan keterlibatannya dalam perfilman Indonesia. Kementerian Pertahanan membiayai produksi film “Seteru”.

“Ini positif. Saya terasa memperoleh amanah. Saat ini kita bicara (Seteru) mengenai kebinekaan. Setelah itu dapat mengenai agama. Atau semua Indonesia mesti telah disusupi ketahanan nasional, ” katanya pada Kompas. com, Sabtu (29/4/2017).

Sesungguhnya, sambung Hanung, negara begitu bertindak dalam perfilman Indonesia pada saat Orde Baru. Presiden Soeharto mengajak sutradara-sutradara terkenal untuk bikin film.

Sayangnya itu tak abadi karna film yang di buat diisi doktrin serta berbentuk propaganda Orde Baru. Pada saat itu, lewat Departemen Penerangan, negara memegang kendali film.

Lantas masuklah ke saat reformasi serta negara melepas keterlibatannya di perfilman Indonesia.

“Sebetulnya bukanlah itu yang diinginkan. Negara mesti tetaplah ikut serta dalam bangun infrastruktur perfilman, ” ungkap pria kelahiran Yogyakarta, 1 Oktober 1975 ini menerangkan.

Persoalannya, bila lihat film yang masuk Indonesia, telah membersihkan otak generasi muda Indonesia.

Generasi muda lupa siapa pahlawan mereka serta apa arti nasionalisme. Mereka juga mengunggulkan product luar.

“Itu artinya, dari segi kebudayaan dapat disebutkan telah tergerus, ” katanya.

Sumber: https://breakingnews.co.id

.

Ketika Kemhan Memotret Kenakalan Remaja

Sutradara Hanung Bramantyo menyatakan cukup sulit untuk menerjemahkan keinginan dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam membuat sebuah film yang mengajarkan bela negara. Namun akhirnya film berjudul Seteru dapat diproduksi dan akhir April sudah masuk di bioskop.

“Saya apresiasi Kemhan dengan film ini. Jarang pemerintah membiayai sebuah film apalagi Kemhan yang tentunya lebih banyak berbicara tentang pertahanan atau politik. Kali ini budaya mereka ikut berbicara,” ujarnya usai nonton bareng film Seteru di Cihampelas Walk, Bandung, Jumat (28/4).

Menurutnya hal positif ini dapat terus dilanjutkan sebab perkembangan film juga membutuhkan campur tangan pemerintah, khususnya dalam menyiapkan infrastruktur perfilman nasional.

Hanung mengatakan, zaman Orde Baru banyak film tentang bela negara dibuat, namun terkesan hanya sebagai doktrin saja. Saat periode reformasi, film diserahkan seluruhnya ke pihak swasta, dan pemerintah tidak ikut campur.

“Pemerintah harus tetap ikut membantu sineas dalam pengembangan perfilman, tidak bisa lepas tangan,” tegasnya.

Seperti saat berencana membangun film Seteru ini, menurutnya perlu pertimbangan matang agar film dapat dinikmati sesuai target, yakni anak-anak muda. Akhirnya film terkait persaingan sepakbola menjadi tema utama film tersebut.

Terkait pemutaran di bioskop, Hanung mengaku bukan tujuan utama, namun hanya sebagai pemicu bagi penonton untuk melihat film tersebut. Sebab masih ada anggapan jika film belum diputar di bioskop khususnya bioskop  XXI, anak-anak muda menganggapnya aneh.

“Film ini bukan mencari untung, karena memang dibiayai negara. Namun harus diputar di bioskop sebagai etalasenya. Selanjutnya akan diputar roadshow di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Film Seteru merupakan film nasional bergenre drama untuk remaja, mengisahkan tentang tawuran yang telah terjadi bertahun-tahun antara dua SMA, hingga selalu meninggalkan dendam di setiap angkatan. 

Film yang dibintangi aktor Mathias Muchus, Bio One, Yusuf Mahardika dan tim pemenang kompetisi futsal tahunan Bank BJB Futsal Championship 2016 itu mengambil latar lokasi di Yogyakarta dan Bandung. 

Senior Vice President Divisi Corporate Secretary Bank BJB, Hakim Putratama mengatakan  mengajak 5.000 pelajar nonton bareng film Seteru di beberapa kota yakni Bandung, Depok, Cirebon dan Bekasi. 

“Bank BJB berharap rangkaian kegiatan nobar ini menjadi langkah positif korporasi dalam upaya ikut mengedukasi pelajar Indonesia tentang permasalahan kenakalan remaja. Semoga pesan moral yang terkandung dalam film ini bisa menginspirasi  pelajar agar potensi yang mereka miliki dapat disalurkan ke arah yang positif,” ujarnya.

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/




Hak Cipta © Kementerian Pertahanan Republik Indonesia